Merdeka Menurut Musthofa Al Ghalayain

0
2369

Bulan Agustus adalah bulan dimana rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Yaitu tepatnya 17 Agustus 1945. Awal momentum untuk menentukan nasib negara Indonesia. Pada hari itu, bangsa Indonesia telah menunjukkan bahwa mereka telah berhasil mengeluarkan diri dari paradigma sebagai bangsa terjajah yang berabad-abad ditanamkan oleh bangsa penjajah. Hari yang menjadikan Indonesia setara, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di antara negara-negara lain.

Kemerdekaan adalah kenikmatan yang maha besar dan ia tidak bisa dirampas begitu saja dari suatu bangsa, kecuali dengan adanya sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya perampasan kemerdekan itu. Sebab-sebabnya memang banyak tapi yang paling berbahaya adalah ketidaktahuan tentang arti kemerdekaan. Karena percuma merdeka bila tidak tahu apa arti sebenarnya dari merdeka itu sendiri. Akibatnya akan kembali terjajah.

Kemerdekaan Menurut Al-Ghalayini

Adalah Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghaliyini. Ia adalah seorang sastrawan Arab, penyair, orator, gramer (ahli tata bahasa), politikus, dan juga jurnalis (wartawan). Ia dilahirkan pada tahun 1303 H/1886 M di kota Beirut, dan wafat pada tahun 1364 H/1945 M. Musthafa Al-Ghalayini, salah satu ulama modern yang berpandangan luas dan berkaliber asal Beirut, Libanon.

Al-Ghalayini dalam bukunya yang berjudul Idhatun Nasyi’in mengatakan bahwa kemerdekaan itu ada empat macam. Hurriyah fardi, hurriyah jamaah, hurriyah iqtishodiyah dan hurriyah siyasiyah. Dan menurutnya seseorang atau umat itu tidak bisa disebut merdeka jika belum mempunyai empat kemerdekaan itu. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 90)

PertamaHurriyah fardi atau hurriyah sakhsiyah adalah kemerdekaan individu dan merupakan kemerdekaan utama. Dengan kemerdekaan ini setiap individu bisa mendapatkan haknya, termasuk hak untuk berserikat. Hurriyah fardi mencakup kebebasan bertindak, berpendapat, memilih keyakinan, mendapatkan pendidikan, berorganisasi dan sebagainya. Walaupun bebas, dalam mempergunakan kemerdekaan ini individu harus mempertimbangkan kemerdekaan orang lain.

Kedua, Hurriyah jama’ah atau kemerdekaan bermsyakat adalah kemerdekaan yang didapat dari hurriyah fardi. Kemerdekaan jama’ah meliputi kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan berkegiatan disana. Dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut.

Ketiga, Hurriyah iqtishadiyah atau kemerdekaan ekonomi berarti kebebasan umat dalam berusaha dan mencari rizki, misalnya kebebasan dalam bidang perdagangan, pertanian, pabrik, perusahaan pertambangan dan sebagainya. Umat yang tidak bisa merdeka dalam bidang ini akan menjadi budak bangsa lain, bagaikan tawanan yang dikekang selamanya oleh musuh, ditawan. Sewaktu-waktu musuh bisa membuat hancur perekonomian serta negaranya sekaligus.

Al-Ghalayini mengatakan bahwa di beberapa abad terakahir, bangsa-bangsa timur banyak tergantung pada bangsa barat, terutama masalah teknologi. Banyak negeri yang kaya raya menjadi tidak berdaya. Mereka dianugrahi kaya namun tak bisa menikmatinya gara-gara belum bisa memanfaatkannya, tidak punya banyak sarjana. Lalu, datanglah orang-orang asing yang datang ke negeri itu untuk mengadakan perjanjian dan kontrak (mereka punya teknologi, bangsa timur punya kekayaan bumi). Dengan perjanjian itu mereka mereka mengangkut dan memanfaatkan sebanyak mungkin kekayaan negeri itu. Ekonomi bangsa itu lalu menjadi tergantung, dengan kata lain tertawan. Jalan satu-satunya, menurut al-Ghalayini adalah menyelenggarakan pendidikan sebaik mungkin agar kita tidak tertawan dan tergantung terus pada bangsa lain.

Keempat, kemerdekaan siyasyi, maksudnya setiap umat atau bangsa itu bebas dan merdeka untuk menentukan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik negaranya. Tidak terikat dan bergantung kepada bangsa lain sekaligus tidak boleh dicampuri oleh kehendak bangsa lain. Bebas membuat segala macam peraturan sesuai kehendak dan kondisi tanah air. Dengan adanya kedaulatan dalam hal politik ini, setiap bangsa bisa memajukan semua hal, termasuk pekerjaan, pertanian, perekonomian dan hal-hal lain yang menjadi hak bangsa tersebut. Tapi kemerdekan dalam hal politik ini tidak akan tercapai jika ketiga kemerdekaan diatas tadi belum dicapai, terutama kemerdekaan ekonomi. Oleh karena itu wajib bagi semua komponen bngsa untuk berusaha sekuat tenaga menggapainya dengan segala daya upaya. Penting sekali menanamkan kesadaran kemerdekaan itu ke semua orang orang yang bernaung di negara itu. Tanpa kesadaran itu lama-kelamaan bangsa itu akan roboh dan hancur. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 93-94).

Kondisi Indonesia

Melihat keterangan al-Ghalayani tentang macam-macam kemerdekaan,  kita akan segera tahu bahwa kita, bangsa Indonesia, bisa dikatakan belum merdeka. Kemerdekaan yang paling utama yaitu kemerdekaan dalam bidang ekonomi dan politik.

Ekonomi dan politik kita telah disetir oleh bangsa penjajah. Hal itu bisa dibuktikan dari lemahnya bargaining kita terhadap semua hal. Kita terlalu banyak bergantung kepada asing.

Minyak-minyak kita banyak diangkut ke luar negeri. Emas, timah, batubara dan kekayaan negeri lain diekploitasi sebesar-besarnya untuk kalangan asing. Undang-Undang privatisasi di semua bidang pun tak bisa lepas dari pengaruh asing.

Kita masih ingat betapa Indonesia dirugikan ribuan triliun akibat  keluarnya Perpres 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing atas beberapa sektor di Indonesia. Kepemilikan asing itu dapat mencapai 99 persen,  lahan pertanian di atas 25 hektare dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga 95 persen, pendidikan pun hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT.

Perekonomian kita semakin hari semakin rapuh, degradasi terjadi di berbagai bidang, di antaranya rakyat semakin miskin, angka pengangguran tinggi, harga-harga (sembako) melambung, kekayaan alam semakin tereksploitasi, sementara penegakan hukum masih tebang pilih. Keterpurukan ekonomi semakin parah, serbuan produk asing membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi seperti itu menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat sehingga acapkali menimbulkan konflik horizontal. Adalah hal yang mustahil suatu bangsa dapat bangkit dari keterpurukannya kalau  bangsa itu tidak dapat mandiri dan tidak berdaulat.

Oleh karena itu, maka menurut al-Ghalayain berpesan kepada kaum muda utamanya untuk selalu belajar tentang arti kemerdekaan yang hakiki. Kemudian berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengupayakan semua kemerdekaan yang telah disebutkan di atas dan untuk melepaskan bangsa dan negara dari segala bentuk penjajahan. Jangan lupa pula untuk selalu mengingat kata-kata yang penuh hikmah: Setiap umat itu punya ajal dan ajal setiap bangsa jika kemerdekaannya sudah terampas. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 94)

(Ysf.)