Bulan puasa sudah berjalan separuh lebih, sebentar lagi bulan suci yang penuh berkah ini segera beranjak meninggalkan kita. Seyogiyanya kita sebagai seorang hamba memanfaatkan malam yang tersisa ini dengan banyak-banyak menggali dan menimba nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah ramadhan.

Para ulama terdahulu akan menangis sejadi-jadinya tatkala bulan ramadhan yang sangat mulia ini tampat di penghujung bulan, seolah-olah tidak ingin jika ramadhan habis masanya. Bahkan sahabat Umar bin Khatab RA. pernah memohon kepada Rasulullah SAW. untuk menjadikan seluruh bulan dalam satu tahun sebagai ramadhan. Ini menunjukkan bahwa bulan ramadhan sangatlah agung fadhilah dan keberkahannya.

Di kampung-kampung masih tetap menjaga tradisi ahlussunah waljamaah an-nahdliyah, yakni membaca do’a qunut pada akhir witir setelah tarawih. Mengenai qunut sendiri memiliki banyak tanggapan para ulama dan tercetus sebuah kesunahan menurut mayoritas ulama.

Mayoritas ulama sepakat hukum qunut di separuh terakhir Ramadhan adalah sunat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum qunut saat witir di luar bulan suci itu.

Qunut, dalam bahasa Arab memiliki beragam makna. Qunut bisa berarti diam dan menahan diri dari berbicara apa pun.

Seperti yang disebutkan oleh sahabat Zaid bin Arqam, konon para sahabat ketika itu masih sering berbicara saat sedang shalat sampai ayat ke-238 dari surah al-Baqarah turun.

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.”

Qunut juga bisa bermakna berdiri, beribadah, atau ketaatan. Tapi, kata Ibn Manzhur, makna qunut yang paling populer adalah doa.

Sedangkan, hakikat qunut adalah doa yang dilakukan dengan berdiri di atas kedua kaki. Sedangkan, pengertian qunut menurut pengertian syar’i adalah doa yang dilakukan dengan berdiri di rakaat terakhir saat shalat-shalat tertentu.

Pembacaan qunut, seperti yang dinukilkan di berbagai kitab fikih mazhab, banyak dilakukan di sejumlah shalat, baik sunat ataupun wajib.

Salah satunya, yang tak asing lagi ialah qunut di rakaat terakhir shalat witir. Apa hukum qunut ketika shalat witir, baik ketika Ramadhan ataupun hari-hari biasa?

Menurut keterangan sebuah kitab yang berjudul Ahkam al-Qunut fi al-Fiqh al-Islamy karya Dr Ismail Syandi, para ulama mazhab berbeda pendapat menyikapi persoalan qunut di rakaat terakhir shalat witir.

Dalam pandangan kelompok yang pertama, kategori qunut ini hukumnya sunat. Pelaksanaannya tidak terbatas saat Ramadhan, tetapi juga berlaku tiap kali melakukan witir di sepanjang tahun.

Pendapat ini dipopulerkan, antara lain, Abu Yusuf dan Muhammad dari mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, Imam Sahnun dari mazhab Maliki, Ibnu Mas’ud, Imam an-Nakha’i,  Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, dan Abdullah Ibn al-Mubarak. Riwayat tertentu dari mazhab Syafi’i.

Sejumlah dalil menjadi dasar pandangan kelompok ini. Di antaranya, hadis Ubai bin Ka’ab yang dinukilkan oleh beberapa kitab sunan, seperti SunanAbu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasai.

Hadits itu menyebutkan bahwa bahwa Rasulullah SAW membaca qunut ketika shalat witir di rakaat terakhir sebelum rukuk. Hadis ini diperkuat dengan riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib.

Dalil-dalil di atas, menurut pandangan kelompok pertama, menunjukkan bahwa Rasul kerap qunut saat shalat witir di sepanjang tahun, tak cuma ketika Ramadhan.

Apalagi, qunut tersebut juga berfungsi sebagai doa. Maka, seyogianya doa tidak hanya dipanjatkan hanya saat Ramadhan.

Sedangkan, menurut pandangan kubu yang kedua, qunut di rakaat terakhir shalat witir hanya dianjurkan di separuh terakhir dari Ramadhan.

Opsi ini merupakan pendapat yang populer di kalangan mazhab Syafi’i dan pendapat Imam Malik seperti yang dinukilkan oleh riwayat Ibnu Habib.

Demikian pula pendapat Imam Ahmad di salah satu riwayat. Deretan nama ulama salaf juga mendukung pendapat ini, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, Qatadah, Ibn Sirin, Sa’id bin Abi al-Hasan, az-Zuhri, Ibn al-Mundzir, Yahya bin Tsabit, az-Zubairi, dan Abu Bakar al-Atsram.

Kelompok ini merujuk pendapat mereka ke sejumlah dalil, antara lain, riwayat dari Umar bin Khatab. Konon, sahabat Rasul berjuluk al-Faruq itu pernah mengumpulkan para sahabat untuk shalat tarawih ketika Ramadhan.

Dan, sepanjang pelaksanaannya, doa qunut hanya dipanjatkan di separuh terakhir bulan suci itu. Di hadapan sahabat, ketentuan qunut ini tidak ada yang menyangkal satu pun.

Hadis yang kedua adalah riwayat Anas bin Malik yang terdapat di Sunan al-Baihaqi. Sekalipun, riwayat ini dihukumi lemah oleh sejumlah ulama hadis, seperti Ibn ‘Addi dan adz-Dzahabi.

Terdapat satu lagi opsi pendapat yang menyatakan bahwa, pembacaan qunut itu dianjurkan sepanjang Ramadhan, tidak sekadar berlaku di separuh terakhir bulan suci itu.

Pandangan ini merupakan salah satu riwayat di mazhab Syafi’i. Imam an-Nawawi menyandarkan pendapat ini pula ke salah satu riwayat dari Imam Malik.

Bahkan, pendapat lain mengutarakan pada hakikatnya yang dimaksud dengan qunut bukan doa, tetapi melaksanakan shalat dengan berdiri dan khusyuk. Karenanya, hukum qunut saat shalat, tak terkecuali witir, adalah makruh.

Menurut Ibn al-Qasim dan Ali, pandangan ini dinukilkan dari Imam Malik. Tetapi, pendapat yang populer di mazhab Maliki, yaitu hukum qunut makruh. Bahkan, Imam Thawus menyatakan qunut ketika witir adalah bid’ah. Hanya saja, pendapat ini tidak populer dan lemah.

Dari sini, qunut memiliki hukum yang berbeda-beda:

Pertama, sunah waktunya sepanjang tahun.

Ulama yang berpendapat adalah: Abu Yusuf dan Muhammad dari Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, Imam Sahnun dari Mazhab Maliki, Ibnu Mas’ud, Imam an-Nakha’i,  Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, dan Abdullah Ibn al-Mubarak. Riwayat tertentu dari mazhab Syafi’i.

Kedua, sunah, terbatas di separuh terakhir Ramadhan.

Ulama yang sepakat dengan pendapat ini adalah: Mazhab Syafi’i dan pendapat Imam Malik menurut riwayat Ibnu Habib. Imam Ahmad di salah satu riwayat. Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, Qatadah, Ibn Sirin, Sa’id bin Abi al-Hasan, az-Zuhri, Ibn al-Mundzir, Yahya bin Tsabit, az-Zubairi, dan Abu Bakar al-Atsram.

Ketiga, sunah, sepanjang Ramadhan.

Pendapat ini menurut salah satu riwayat di mazhab Syafi’i. Imam an-Nawawi menyandarkan pendapat ini pula ke salah satu riwayat dari Imam Malik.

Keempat, Makruh, di tiap witir.

pendapat ini menurut madzhab Malikiyah di sebuah riwayat yang paling populer / masyhur.

kelima, Bid’ah di tiap witir.

Yang sependapat dengan hal ini adalah Imam Thawus.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, adapun membaca qunut pada akhir shalat witir bukanlah bid’ah. Kebiasaan ini sudah berlangsung cukup lama sejak masa sahabat sampai sekarang. Dikisahkan bahwa Ubay Ibn Ka’ab, Umar Ibn Khatab, dan beberapa sahabat lainnya membaca qunut di akhir shalat witir setelah separuh Ramadhan.

Menurut Imam al-Nawawi, disunnahkan qunut di akhir shalat witir pada separuh akhir Ramadhan. Meskipun menurut sebagian pendapat ada yang membolehkan qunut sepanjang Ramadhan, namun pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i adalah qunut dikhususkan pada separuh akhir Ramadhan. Wallahu a’lam bisshawab.

 

(Disarikan dari Ahkam al-Qunut fi al-Fiqh al-Islamy karya dosen fikih perbandingan Fakultas Tarbiyah Islam Universitas Al-Quds Terbuka Palestina, Dr Ismail Syandi dan kitab al-Adzkar an-Nawawi).