Sepakbola Api, Antara Hiburan dan Laku Spiritual

0
1985

Pesantren dikenal kaya akan warna budaya, eksotik, sekaligus spiritual. Untuk terus menjaga kekayaan jagad pesantren itu, tiap malam satu Muharram Pondok Tremas Pacitan menggelar permainan sepakbola api “Brojo Geni” di halaman masjid Pondok Tremas, Senin (10/9) malam.

Bola yang digunakan merupakan bola khusus yang terbuat dari sabut kelapa. Bola terlebih dahulu direndam ke dalam minyak tanah dan disulut api hingga terbakar. Butuh kemampuan khusus untuk memainkan permainan ala pesantren itu. Mereka yang pemberani sanggup berebut bola dan menendangnya ke gawang.

Almagfurlah KH Mahrus Hasyim, layak mendapat julukan sebagi orang pertama mempopulerkan permainan sepakbola api di kalangan santri Pondok Tremas, utamanya santri asrama Al  Huda.

Ustadz Mustafid, salah seorang santrinya menjelaskan awal mulanya permainan sepakbola api begitu diminati para santri. “Dulu setiap malam tanggal satu suro para santri sering ngeluyur ke pantai,” katanya. Alasan itulah yang menjadi latar diadakannya permainan sepakbola api agar para santri tidak keluar dari pondok saat malam satu suro.

Kedua, kata pria yang kini menekuni seni kaligrafi itu, agar para santri lebih tertarik melakukan riyadhah (mengolah jiwa). Dengan melakukan riyadhah maka para santri bisa bertambah rasa keimanannya, agar lebih dekat dengan Allah SWT lewat bacaan-bacaan wirid tertentu.

“Riyadhah adakah melatih kita untuk perihatin. Cara untuk nyedak (mendekat) marang pangeran, dengan peraturan-peraturan yang dituturkan oleh seorang guru,” ungkapnya.

Sepakbola api menurutnya sebagai bagian dari melatih kekebalan tubuh. Dimana pada saat itu, Almagfurlah KH Mahrus Hasyim, turun langsung ke arena permainan sepakbola api itu.

Pria yang sering disapa Pak Tafidz itu menambahkan, tidak semua santri boleh melakukan permainan sepakbola api ini. Hanya santri-santri khusus yang diperbolehkan mengikutinya. ” Pada zaman dahulu bukan sembarang santri yang bisa mengikutinya. Khusus pengurus Al Huda Ndalem,” katanya.

Pak Tafidz adalah salah satu orang yang tidak pernah absen mengikuti sepakbola api warisan dari gurunya itu. “Lek ora melu ora gayeng (kurang mantap),” tutupnya.

Satu Muharram atau Suro memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa, telah menjadi latar munculnya berbagai perayaan untuk memperingatinya.

Selain dalam bentuk perayaan, santri Pondok Tremas menyambut tahun baru Islam dengan doa bersama, sujud syukur, dan tasyakuran ala santri dengan menu sambel terong.

Tradisi-tradisi ini hanya sebagian kecil dari ragam tradisi menyambut satu Muharram di kalangan pesantren, khusunya masyarakat Jawa. Mereka punya cara masing-masing memperingati sebuah momen yang pada dasarnya tak hanya sebuah pergantian tahun semata.

Muharram adalah salah satu dari bulan-bulan yang dimuliakan, atau sering disebut “syahrullah” (bulanya Allah SWT). Hal itu dapat diartikan bahwa Muharram memiliki keutamaan khusus karena disandarkan pada lafadz Allah.

Sementara bagi masyarakat Jawa. Bulan Muharram dikenal sebagai bulan suro. Bulan ini menurut mereka adalah bulan nahas atau bulan sial. Ada mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa tempat atau situs tertentu mempunyai keberkahan tersendiri, sehingga masyarakat berduyun-duyun mendatangi lokasi yang dianggap keramat. Wallahu a’lam.

Pada bulan Muharram, tepatnya di hari kesepuluh, Allah memuliakan sepuluh orang nabi dengan sepuluh keistimewaan. Islam juga menyerukan kepada umatnya untuk melakukan amalan kebajikan pada bulan ini, dan inilah yang menunjukkan bahwa Allah SWT memuliakan bulan ini.

(M. Maksum/Naufal A/Yasin Nur A)