Oleh Muhamad Sofi Mubarok
Indonesia kini memiliki satuan pendidikan keagamaan Islam pada jenjang pendidikan tinggi yang populer dengan nama Ma’had Aly. Hal ini lantaran keberadaannya telah diresmikan Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin pada Senin (30/05/2016) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, bertepatan dengan Wisuda III Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asyari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Sesuai dengan penjelasan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 71 Tahun 2015, yang dimaksud dengan Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh dan berada di pesantren. Berdasarkan aturan tersebut, entitas Ma’had Aly sebagai Pendidikan Diniyah Formal pada jenjang pendidikan tinggi sejatinya mengacu pada dua regulasi sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama di dalam Pasal 30 ayat (4) yang secara eksplisit menyebutkan, “Pendidikan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
Serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 30 ayat (2) menyebutkan, “Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis. ”Kedua undang-undang tersebut kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1), nomenklatur Ma’had Aly tercakup sebagai salah satu bentuk pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dan dipertegas kembali melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA No. 71 Tahun 2015 yang secara khusus mengatur penyelenggaraan Ma’had Aly.
Dengan formalisasi kelembagaan Ma’had Aly, maka posisi Ma’had Aly berada dalam level yang sama dengan UIN/IAIN/STAIN dan perguruan tinggi lain. Pertanyaannya kemudian, bagaimana Ma’had Aly bekerja sebagai sebuah institusi yang dapat dijadikan role model pengembangan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia?
Ruang Kosong Pendidikan Keagamaan
Pelembagaan Ma’had Aly sebagaimana tertuang dalam PMA No. 71 Tahun 2015 merupakan cita-cita lama yang dimiliki pesantren. Betapa tidak, rumusan draf PMA Ma’had Aly tersebut sudah diwacanakan sejak pertengahan tahun 2003 sebagai tindak lanjut atas disahkannya Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP 55 Tahun 2007. Artinya, kurang lebih 13 (tiga belas) tahun lamanya eksistensi Ma’had Aly di pesantren-pesantren penyelenggara berjalan tanpa adanya payung hukum yang memadai. Sebut saja misalnya Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo yang berdiri sejak tahun 1990 konsisten membina mahasantri (sebutan untuk mahasiswa Ma’had Aly). Kemudian diklaim sebagai patron awal penyelenggaraan Ma’had Aly guna melahirkan generasi yang ahli di bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) meski tanpa sokongan payung hukum yang jelas.
Ide pelembagaan Ma’had Aly bermula ketika kalangan pesantren menyadari makin sulitnya menghadirkan ulama di tengah-tengah masyarakat yang memiliki penguasaan mendalam terhadap ilmu-ilmu keislaman. Pada saat yang bersamaan, problematika yang kian kompleks dihadapi umatharus segera diselesaikan melalui fatwa keagamaan yang segar dan dapat dipertanggungjawabkan. Acapkali, masyarakat diresahkan dengan menjamurnya fatwa-fatwa keagamaan yang reduksionis, rigid sekaligus tidak adaptif terhadap perubahan sebagai ekses minimnya pengetahuan keagamaan sang pembuat fatwa, baik individual maupun komunitas atau lembaga tertentu.
Faktwa bahwa tuntutan pesantren untuk mengisi ruang kosong terjadinya pergeseran orientasi keilmuan, di satu sisi juga melatarbelakangi kalangan pesantren untuk melembagakan Ma’had Aly. Dalam konteks inilah proses layanan pendidikan di Ma’had Aly diarahkan pada upaya memasukkan kitab kuning sebagai marwah pendidikan pondok pesantren–meminjam istilah yang digagas Zamakhsyari Dhofier–serta memfokuskan diri pada satu bidang keilmuan Islam (takhasshus).
Kesemuanya tertuang di dalam PMA Ma’had Aly dan menjadi 9 (sembilan) program studi keilmuan Islam, yaitu al-Quran dan ilmu al-Quran (al-qur’an wa ‘ulumuhu), tafsir dan ilmu tafsir (tafsir wa ‘ulumuhu), hadits dan ilmu hadits (hadits wa ‘ulumuhu), fiqh dan ushul fiqh (fiqh wa ushuluhu), akidah dan filsafat Islam (‘aqidah Islamiyyah wa falsafatuha), tasawuf dan tarekat (tashawwuf wa thariqatuhu), ilmu falak dan astronomi (‘ilmu falak), sejarah dan peradaban Islam (tarikh islamy wa tsaqafatuhu), dan bahasa dan sastra arab (lughah ‘arabiyyah wa adabuha). Barangkali, formula inilah menjadi kekhasan Ma’had Aly bila dibandingkan dengan bentuk pendidikan tinggi pada umumnya, mengingat jenis kajian Islam yang dikembangkan pendidikan tinggi Islam tersebut berorientasi pada semangat mengintegrasikan berbagai disiplin keilmuan.
Nilai-nilai yang terhimpun di dalam PMA Nomor 71 Tahun 2015 adalah refleksi gagasan lama yang diadopsi pesantren sejak kemunculannya. Pondok pesantren cukup lama dikenal akan konsistensinya mempertahankan corak metodologi pembelajaran klasik melalui kitab kuning, selalu menerima kearifan lokal serta berupaya mengakomodasi hal-hal baru yang memiliki social impact yang positif bagi masyarakat luas. Singkatnya, PMA Ma’had Aly tersebut adalah pelembagaan nilai-nilai yang dilakukan pesantren selama ini, meliputi upaya memelihara tradisi lama yang baik serta terus mengupayakan kehadiran hal-hal baru yang positif (al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah).
Dengan demikian, kehadiran Ma’had Aly harus dimaknai sebagai afirmasi pemerintah dalam menyajikan regulasi untuk melembagakan pesantren sebagai wadah mencetak kader-kader ahli di bidang ilmu agama (mutafaqqih fiddin), melembagakan tradisi keilmuan yang sudah beberapa abad lamanya diakui di kalangan pesantren (mu’tabar) serta kebutuhan dasar untuk merespon gejala sosial.
Tak berlebihan rasanya jika KH. Husen Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun menawarkan ide cerdas terkait cita-cita Ma’had Aly dalam melakukan lompatan epistemologi dan tidak untuk melakukan otokritik terhadap pesantren itu sendiri. Meminjam istilah yang dikemukakan beliau pada Seminar Nasional Pengkaderan Ulama melalui Ma’had Aly di Pondok Pesantren Ciwaringin Cirebon tahun 2013 lalu, Ma’had Aly harus berupaya mengembangkan tradisi akademik yang maju dan berorientasi ke depan tanpa harus meninggalkan jejak-jejak tradisi lama yang baik (kayfa nataqaddam duna an natakhalla ‘an at-turath).
Cita-cita besar
Suatu hal yang wajar jika komunitas pesantren beberapa kali melakukan upaya advokasi bersama pemerintah untuk meng-endorse inisiasi pelembagaan pondok pesantren dimulai dari tingkat masyarakat akar rumput hingga pemerintah sebagai stakeholder. Ruang advokasi dilakukan dalam rangka implementasi semangat konstitusi yang memungkinkan masyarakat menuntut haknya dalam mengakses sekaligus mendapatkan layanan pendidikan yang memadai seiring dengan rumusan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat 1. Selain itu, semangat luhur untuk mengimplementasikan nilai-nilai agama juga harus terakomodir dalam penyusunan regulasi pendidikan yang dilakukan pemerintah sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 5.
Namun upaya yang sudah dilakukan tidak bisa berhenti begitu saja. Pelembagaan Ma’had Aly tidak akan ada artinya sepanjang prinsip-prinsip berikut tidak dijalankan pihak-pihak yang terkait. Prinsip-prinsip tersebut antara lain, pertama, responsibilitas yang harus dibangun pemerintah sebagai stakeholder untuk memberikan perhatian terhadap Ma’had Aly dalam melahirkan ahli-ahli di bidang ilmu agama. Setelah legalitas didapatkan, pemerintah harus memberikan afirmasi terkait penyelenggaraan Ma’had Aly, baik dengan cara menyiapkan regulasi yang dibutuhkan maupun dengan memberikan dukungan finansial yang proporsional.
Di sisi lain, Ma’had Aly harus mampu mengimplementasikan amanat PMA dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang khas, mandiri dan fokus menghasilkan lulusan yang mumpuni di bidang keilmuan Islam (mutafaqqih fiddin). Karenanya, bagaimanapun kondisi yang dihadapi pesantren penyelenggara, Ma’had Aly harus tetap konsisten memberikan layanan dan tidak melulu bergantung pada pemerintah. Semangat kemandirian pesantren juga harus mampu direfleksikan Ma’had Aly. Kedua, prinsip untuk mengukur sejauh mana social impact (pengaruh sosial) bisa diwujudkan komunitas Ma’had Aly setelah mendapatkan legalitas dari pemerintah. Fungsi penyelenggaraan Ma’had Aly harus diperluas lagi meliputi upaya untuk menciptakan agen perubahan sosial (the agent of social change) sebagai implementasi konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Semua kalangan menilai, penyelenggaraan layanan pendidikan di Ma’had Aly harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, lulusan Ma’had Aly diharapkan dapat merespon sekaligus menyediakan sumber daya yang dibutuhkan masyarakat untuk berkembang dan maju. Fakta makin terkikisnya moralitas sebagai ekses terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat harus menjadi perhatian utama pondok pesantren-pondok pesantren penyelenggara Ma’had Aly, alih-alih sekadar menjalankan fungsi layanan pendidikan yang oportunis dan cenderung membangun tembok besar yang terpisah dengan realita masyarakat sekitar.***
Penulis adalah Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sumber :