Kiai Hamid Dimyati, Anggota KNIP No. 288 yang Mewakili Termas

0
1938

Oleh Iip D. Yahya

Pengusulan seorang tokoh untuk menjadi pahlawan nasional, dilakukan secara bertahap. Setelah dilakukan kajian mendalam oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten, akan diajukan ke TP2GD Provinsi. Dari Provinsi kemudian akan dilanjutkan ke TP2G Pusat melalui Kementrian Sosial RI. Di tingkat pusat inilah pertanyaan kunci akan diajukan, “Apa jasa besar tokoh dalam skala nasional?”

Semakin lama, persyaratan seorang tokoh daerah untuk menjadi pahlawan nasional kian sulit. Hampir tidak ada lagi tokoh-tokoh utama pelaku perjuangan fisik yang memimpin perlawanan terhadap penjajah, saat pendudukan Jepang atau menghadapi agresi Belanda. Semua sudah menjadi pahlawan nasional. Lalu siapa lagi yang bisa diajukan? Di sinilah kerja-keras TP2GD akan menjadi kunci, apakah tim berhasil membuktikan seorang tokoh punya peran dan jasa yang berpengaruh secara nasional? Hal ini pula yang tidak mudah untuk dibuktikan secara ilmiah, karena berbagai keterbatasan. Tidak mudah untuk menemukan bukti tertulis atau pengakuan secara akademik.

Pengajuan KH. Hamid Dimyati oleh TP2GD Pacitan, mengalami kesulitan pembuktian ilmiah itu. Bukan soal kepahlawanan beliau, melainkan bukti-bukti pendukung yang memperlihatkan peran dan pengaruhnya secara nasional. Kiai Hamid merupakan korban revolusi pada 1948, ini sudah menjadi bukti kuat untuk memastikannya sebagai seorang pahlawan. Namun, bukti-bukti pendukungnya tidak mudah didapatkan.

Namun, per 17 Agustus 2022, setidaknya Pemerintah Kabupaten Pacitan secara resmi sudah menetapkan KH. Hamid Dimyati sebagai Pahlawan Pacitan. Pengakuan di tingkat nasional, akan kembali kepada ‘kepentingan’ para pemangku kebijakan di pusat yang keputusaannya sering tidak mudah diterka.

Tulisan singkat ini ingin mencoba mengungkap beberapa bukti ketokohan Kiai Hamid secara nasional, pada masa pendudukan Jepang dan pada masa revolusi. Dua bukti ini tampaknya belum tercantum dalam pengusulan yang disampaikan oleh TP2GD Pacitan. Keduanya secara tidak sengaja penulis temukan dalam sebuah penelitian baru-baru ini.

Masa Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, Kiai Hamid diakui sebagai reprsentasi ulama di Karesidenan Madiun. Ia termasuk para kiai yang mengikuti pelatihan ulama (Kiai Kyosyukai) angkatan pertama selama bulan Juli 1943. Ia mengikuti pelatihan bersama perwakilan ulama dari 20 karesidenan se-Jawa dan Madura. Setiap karesidenan mengirimkan tiga kiai. Dengan demikian Angkatan pertama Kiai Kyosyukai itu diikuti oleh 60 ulama. Salah satu syarat untuk menjadi peserta pelatihan ini adalah memiliki pengaruh besar di daerahnya.

Pelatihan dilaksanakan di Gedung MIAI di kawasan Gambir, sementara untuk penginapan disediakan rumah besar di Jalan Kramat yang dilengkapi berbagai fasilitas pendukung. Di antara kiai terkenal yang seangkatan adalah Kiai Siroj (Muntilan) Kiai Muhammad Ilyas (Pekalongan), Kiai Harun (Banyuwangi), Kiai Abdulchalim Siddik (Jember), dan Kiai Anwar Musaddad (Garut). Selama pelatihan, para kiai menerima berbagai materi yang disampaikan oleh perwira Jepang dan sejumlah tokoh Indonesia, mulai dari sejarah dunia hingga soal perindustrian. Di akhir pekan, peserta di bawa berkeliling ke sejumlah pabrik dan lokasi wisata.

Sosok Kiai Hamid diakui oleh pemerintah Bala Tentara Jepang sebagai tokoh berpengaruh di wilayah karesidenan Madiun. Hal itu dibuktikan pula oleh sejumlah posisi yang dipercayakan kepadanya, sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh TP2GD Pacitan.

Masa Revolusi

Secara umum diakui bahwa kepergian Kiai Hamid dan sejumlah santri pengawalnya pada tahun 1948, adalah untuk memenuhi undangan Komite Nasonal Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta. Akan tetapi daftar anggota KNIP yang lengkap, nyaris tidak ditemukan dalam sejumlah literatur sejarah revolusi Indonesia. Termasuk pihak keluarga, selama ini tidak menyimpan bukti keanggotaan Kiai Hamid dalam KNIP. Informasinya terbatas bahwa ia anggota KNIP dari Masyumi.

Dari dokumen yang disita badan intelijen Belanda (NEFIS) dari tentara Jepang, yang sekarang dapat diakses di website niod.nl, ditemukan catatan penting mengenai Kiai Hamid dan terkait KNIP yang selama ini belum banyak diketahui.

Pertama, anggota KNIP seluruhnya berjumlah 298 orang, terdiri dari perwakilan partai politik dan utusan daerah. Sejumlah kiai tercantum sebagai anggota KNIP mewakili daerahnya, bukan atas nama Masyumi. Selain Kiai Hamid terdapat nama Kiai Abbas (Cirebon), Kiai Masykur (Malang), Kiai M. Dachlan (Pasuruan), Kiai Imam Gozali (Solo) dan Kiai Abdoellah bin Noeh (Cianjur).

Kedua, nama Kiai Hamid tertulis sebagai Dimjati Termas, tercatat sebagai anggota KNIP bernomor 288, yang mulai bekerja pada 28 Februari 1946 dan termasuk angkatan kedua KNIP. Tentu yang dimaksud adalah Kiai Hamid Dimyati, sebab Kiai Dimyati, ayahnya, sudah wafat pada 1934. Uniknya, ia ditulis mewakili “Termas”. Maksudnya mewakili Pacitan atau Madiun. Namun sosoknya lebih dikenal sebagai Kiai Hamid Dimyati Termas dibanding Kiai Hamid Pacitan atau Madiun. Dialah satu-satunya anggota yang ditulis mewakili pesantrennya, sementara yang lain mewakili partai politik atau daerah.

Ketiga, jika melihat masa kerjanya pada 28 Februari 1946, besar kemungkinan Kiai Hamid sempat mengikuti Sidang Pleno KNIP IV di Surakarta pada 28 Februari – 8 Maret 1946 dan Sidang Pleno V di Malang pada 25 Februari – 6 Maret 1946. Dengan peristiwa tragis di hutan Trawas Wonogiri, ia tidak bisa lagi mengikuti Pleno VI yang merupakan masa persidangan terakhir yang dilaksanakan di Yogkarta pada 6-15 Desember 1949.

Dengan temuan kedua bukti ini, terutama bukti yang terakhir, semoga menjadi data pendukung yang memperkuat pengusulan KH. Hamid Dimyati sebagai Pahlawan Nasional.

Penulis adalah alumni Mu’allimin Atas Tremas tahun 1990.