Malam Satu Suro: dari Penetapan Kalender Jawa Sultan Agungan, Ngumbah Pusoko, hingga Tradisi Brojo Geni

0
594

Agama dan budaya adalah dua hal yang selalu berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika dilihat dari konteks sejarah perkembangan Islam di Nusantara, peranan tradisi budaya tidak bisa dinafikan keberadaannya. Agama membutuhkan media, alat bantu, juga metode untuk bisa disampaikan dan kemudian mudah diterima oleh masyarakat. Al-Zastrouw Ngatawi dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan alasan mengapa Islam tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan budaya. Karena, kalau pesan-pesan agama secara langsung disampaikan dengan cara Timur Tengah, masyarakat lokal yang belum mengenal Islam akan mengalami kesenjangan budaya (defence culture). Sehingga akan kesulitan untuk menerima pesan-pesan agama Islam yang baru hendak disebarkan.

Salah satu produk sinkretisme Islam dan Jawa adalah penanggalan kalender Jawa yang dicetuskan oleh Sri Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma inilah terjadi perpaduan antara kalender Jawa dan kalender hijriyah. Penanggalan baru yang disebut dengan Kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan ini diciptakan pada tahun 1633M.

Sebelumnya, masyarakat Jawa masih menggunakan Kalender Saka yang berasal dari India. Ada perbedaan antara Kalender Saka dan Kalender Hijriyah. Kalender Saka didasarkan pada pergerakan matahari. Sementara kalender Hijriyah didasarkan pada pergerakan bulan.

Hal tersebut menyebabkan perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan peringatan hari besar Islam. Sultan Agung menginginkan agar perayaan-perayaan tersebut dapat dilaksanakn dalam waktu yang bersamaan. Alhasil, dengan kecerdasan dan otoritas Sultan Agung, beliau berhasil memadukan antara kalender Saka dan kalender Hijriah.

Perubahan sistem penanggalan dilakukan pada hari Jum’at Legi, pada tahun Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan 1 Muharram 1043H dan 8 Juli 1633M. Pergantian sistem penanggalan ini tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1, tetapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian. Penanggalan hari dan bulan memakai sistem Islam, tetapi angka tahun dan namanya tetap memakai sistem Jawa.

Maka jadilah nama bulan dalam kalender Jawa menjadi: Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Longkang, dan Besar. Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriyah yakni: Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dan dan Dzulhijjah.

Selain untuk menyelaraskan perayaan hari besar Islam, tentu Sultan Agung mempunyai misi untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa secara umum. Metode Sultan Agung ini merujuk pada metode para Walisongo yang menyebarkan Islam, mengenalkan Islam dan mendekatakan Islam kepada masyarakat dengan akulturasi budaya dan agama.

Tidak hanya penggubahan kalender Jawa, Sultan Agung juga mengisi perayaan-perayaan Keraton Mataram Islam dengan ritual dan upacara adat, yang di dalamnya banyak memiliki nilai-nilai filosofis, dan selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Islam.
Salah satu tradisi tersebut ialah Jamasan Pusaka, yang dilakukan pada malam satu sura (satu Muharram). Satu Sura yang menjadi peringatan awal tahun bagi masyarakat Jawa, sekaligus tepat dengan peringatan awal tahun hijriyyah bagi umat Islam, ditandai dan dirayakan dengan berbagai ritual kegiatan.

Salah satu tradisi tersebut ialah Jamasan Pusaka, atau ngumbah pusaka, ritual yang dilakukan sebagai kegiatan resmi oleh keraton dan kemudian menjadi laku bagi masing-masing individu masyarakat Jawa yang memiliki pusaka. Ketika ritual ini, pusaka-pusaka akan dibersihkan atau dimandikan. Pusaka tersebut meliputi senjata (keris, pedang), kereta, alat-alat berkuda, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Hal yang dijadikan sorotan bahwa barang tersebut dikatakan sebagai pusaka adalah berdasarkan perannya bagi sejarah dan kehidupan sesuai fungsi benda tersebut.

Tidak banyak yang tahu alasan mengapa ritual jamasan pusaka ini dilaksanakan pada malam satu suro tepat dengan peringatan tahun baru. Hanya jika dianalogikan dengan pendekatan filosofis, pusaka dimaknai sebagai pegangan hidup dan kekayaan diri.

Dalam Islam, ada banyak sekali pegangan hidup. Utamanya adalah ilmu, akal, hati dan jiwa. Pusaka manusia adalah akal budi, perangkat hati, atau keteguhan jiwa. Nah, selaras dengan idiom-idiom yang ada dalam Islam, bahwa ketika memasuki awal tahun, umat Islam dianjurkan untuk kembali membasuh hatinya, membersihkan jiwanya, menanggalkan kotoran-kotoran, berupaya menghilangkan karatan-karatan hati, agar supaya pusaka hidupnya kembali bersih, tajam, dan bermanfaat.

Ada banyak sekali cara yang dapat dilakukan. Diantaranya adalah membaca do’a akhir tahun di penghujung sore sebelum maghrib, kemudian membaca do’a awal tahun di waktu ba’da maghrib, melakukan shalat hajat, istighfar, istighotsah, dan lain sebagainya.
Di Pondok Tremas sendiri, perayaan malam satu Muharram terbilang cukup unik. Kegiatan dilakukan di penghujung sore sebelum maghrib, dari pembacaan do’a akhir tahun, kemudian ba’da maghrib dilanjutkan dengan do’a awal tahun, hingga ritual do’a dipungkasi dengan istighotsah bersama para santri dengan dipimpin oleh salah satu kiai. Nah, barulah setelah itu ada perayaan malam satu suro yang bernama Brojo Geni.

Tradisi Brojo Geni ini telah ada sejak kepemimpinan pertama Pondok Tremas, yakni KH. Abdul Mannan Dipomenggolo pada sekitar tahun 1820. Pada awalnya, kegiatan permainan sepakbola api atau yang disebut dengan Brojo Geni ini digunakan sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar Tremas. KH. Abdul Mannan Dipomenggolo, sebagaimana Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau mencetuskan tradisi lewat permainan bola api yang di dalamnya terkandung nilai-nilai agama Islam. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Trah Keluarga Tremas masih memiliki hubungan dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma melalui Nyai Andawiyyah, istri dari KH. Abdul Mannan Dipomenggolo. Nyai Andawiyyah adalah putri dari Nyai Syafangatun binti Kiai Nur Iman Mlangi, atau dipanggil dengan Raden Mas Sandiyo, yang masih keturunan dari Amangkurat IV.

Dalam permainan Brojo Geni yang dicetuskan pada masa kepemimpinan Pondok Tremas oleh KH. Abdul Mannan, nilai-nilai yang termuat tidak saja muncul ketika permainan ini dimulai, namun sejak sebelumnya. Karena untuk bisa mengikuti Brojo Geni, santri-santri diharuskan untuk riyadlah terlebih dahulu, tirakat puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam, dilanjutkan dengan pusa ngebleng dengan tidak tidur selama satu hari satu malam, kemudian ritual tirakatan dipungkasi dengan berendam di sungai pada malam terakhir prosesi tirakat. Dalam proses tersebut, santri-santri diajarkan tentang menahan hawa nafsu. Mengolah diri supaya menemukan diri yang lebih berkualitas.

Setelah serangkaian tirakat ditempuh, pada malam satu suro, santri-santri yang sudah selesai melakukan tirakat diperkenankan untuk mengikuti permainan bola api. Dalam permainan ini, anak santri tidak diperkenankan memakai alas kaki. Bola api yang terkesan panas itu dapat dikendalikan dengan mudah oleh para santri yang sebelumnya sudah melaksanakan riyadlah.

Filosofi dari Brojo Geni yang diajarkan oleh kiai kepada santrinya ini mempunya makna yang mendalam. Dari laku tirakat hingga pengendalian bola api. Api dimaknai sebagai perlambangan dari nafsu amarah. Sepanas apapun ia, asal ada keteguhan dan upaya yang kuat untuk mengelola, pada akhirnya berhasil dikelola, berhasil diolah dan dikendalikan.
Dari masa ke masa, tradisi Brojo Geni tetap dilestarikan di Pondok Tremas. Dan pada tahun 2020 silam, Brojo Geni resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemendikbud.

Agama dan budaya tak bisa dipisahkan. Sinkretisme antara Islam dan Jawa, jika dipahami secara total, tidak akan menimbulkan kesalah-kaprahan dalam beragama. Justru, wajah Islam akan tampak lebih lembut, luwes, sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan fikih dan tata hukum syariat perlu dilestarikan. Supaya ada keselarasan antara nilai agama dan umat bergama.

Dari para Walisongo, Sultan Agung Hanyokrokusumo hingga KH. Abdul Mannan Dipomenggolo kita belajar. Bahwa dakwah bil hikmah, dengan menggunakan media yang relevan, akan lebih mudah diterima di kalangan masyarakat secara umum, dibanding dengan dakwah yang terkesan dogmatis dan berjarak dari kultur masyarakat. Dari kacamata sederhana penulis menyimpulkan bahwa beliau-beliau tersebut benar-benar meneladani sifat fathonah-nya Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Malem Siji Suro 1958. — Muharram 1446

— damparalit, Syeftyan Afat