Kiai Hamid Dimyati adalah mahkota Pesantren Tremas. Pada masa kepemimpinannya, pesantren Tremas naik kelas, berkembang menjadi pesantren luhur yang dilengkapi perpustakaan paling komprehensif. Tremas menjadi arena ujicoba kemampuan para santri senior sekaliber Kiai Ali Maksum. Santri yang kelak dikenal sebagai pembaharu Pendidikan Islam, Prof Mukti Ali, mulai belajar filsafat di Tremas atas arahan Kiai Hamid. Sosok visioner yang memulai Qismun Nizham, yang kelak diadopsi sebagai Ma’had Aly.
Di tengah suasana belajar-mengajar yang sangat bergairah itu, Kiai Hamid terpanggil untuk terlibat dalam revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ia menjadi Ketua Masyumi Pacitan dan Anggota KNIP, setelah sebelumnya ikut merintis pembentukan Kementrian Agama. Ia ikut membentuk Hizbullah di Karesidenan Madiun yang dimulai dengan pelatihan pencak silat sejak zaman pendudukan Jepang. Keterlibatannya dalam perjuangan itu ikut mendorong para alumni Tremas yang tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia, untuk sama-sama terjun ke kancah revolusi.
Posisinya sebagai tokoh Islam terkemuka di Karesidenan Madiun, membuatnya menjadi sasaran utama pada saat pemberontakan Madiun meletus pada 18 September 1948. Pacitan dalam waktu singkat dapat dikuasai pemberontak. Lokasinya yang tidak mudah ditempuh dengan perjalanan darat, membuat arus informasi menjadi terbatas baik keluar maupun ke dalam. Dalam situasi terjepit itulah Kiai Hamid memutuskan untuk segera meminta bantuan kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta. Ia tidak bisa mendapatkan informasi bahwa pasukan Siliwangi sedang bergerak ke arah Pacitan.
Lalu, ketika berita simpang siur itu sampai ke Tremas pada akhir Oktober 1948, semua pihak khususnya keluarga, kaget dan tercekam. Tidak ada informasi yang pasti, selain Kiai Hamid dan para pengiringnya tidak pernah kembali lagi ke Tremas. Apalagi seluruh keluarga Pesantren Tremas juga dalam keadaan genting setelah nyaris dibakar hidup-hidup di dalam penjara Pacitan. Mereka diselamatkan oleh Batalion Achmad dari Divisi Siliwangi. Semua masih berharap ada keajaiban dan menunggu kepulangannya, tapi tak ada lagi kabar beritanya.
Dalam rangkaian peristiwa Madiun Affairs 1948, peristiwa di Pacitan memang tidak banyak mendapat liputan media ataupun perhatian para peneliti. Misalnya buku Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990) yang ditulis oleh Agus Sunyoto dkk, tak menyebut satu pun kejadian di Pacitan. Peneliti asing juga lebih melihat aspek politik peristiwa tragis itu. Hal ini menunjukkan betapa sedikitnya informasi yang keluar dari Pacitan antara 18 September hingga 15 Oktober 1948. Nyaris terisolasi. Menghilangnya Kiai Hamid itu kemudian melahirkan banyak versi cerita. Kisah yang paling absurd adalah rumor bahwa ia berhasil menyelamatkan diri dan hidup secara menyamar.
Misteri yang Terungkap
Tak kembalinya Kiai Hamid ke Tremas kemudian menjadi misteri yang mengganjal banyak pihak. Aktivitasnya sebagai tokoh Masyumi, Kementrian Agama dan KNIP, nyaris tak meninggalkan catatan resmi. Namun, setelah membaca riset David Charles Anderson berjudul The Military Aspects of The Madiun Affair, yang dimuat dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University volume 21, April 1976, penulis mulai yakin bahwa ada media massa yang memberitakan peristiwa yang menyangkut Kiai Hamid. Dalam salah satu catatan kakinya, Anderson merujuk pemberitaan pada harian umum Pacific yang terbit di Solo, 14 Oktober 1948. Sayang sekali dokumen koran ini tidak tersisa di Indonesia dan harus diakses di perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dalam bentuk microfilm.
Dalam kutipan itu, Anderson menulis bahwa para ulama Islam terkemuka seperti Dimjati Tremas, Imam Muhdi, Qosim Bakrun, dan Sayid Charan ditahan oleh pasukan Barisan Berani Mati. Saat itu, belum dipastikan mereka sudah dieksekusi, hanya disebut banyak dari mereka tidak pernah kembali lagi. Dari laporan Anderson ini, penulis mulai percaya bahwa peristiwa penangkapan dan pembunuhan atas Kiai Hamid mendapatkan pemberitaan yang cukup banyak dari media massa saat itu. Hanya karena dokumen media yang tidak mudah didapatkan, informasinya tidak sampai kepada keluarga dan pihak-pihak lain di Pacitan. Juga tak tersentuh oleh para peneliti.
Akhirnya, setelah pencarian yang cukup lama, penulis mulai menemukan jejak Kiai Hamid dalam harian Merdeka edisi 18 Oktrober 1948. Dalam sebuah kolom kecil, dimuat berita berjudul, “Mayat2 Diketemukan di Dekat Solo”. Berita itu meringkas pengumuman staf Gubernur Militer di Surakarta yang menerangkan telah ditemukannya puluhan mayat di Tirtomoyo, yang dibunuh oleh pemberontak komunis selama tindakan terornya. Korban-koran itu kebanyakan adalah anggota polisi, pamong praja dan juga terdapat seorang pemuka agama Islam.
Dua hari berselang, koran yang sama edisi 20 Oktober 1948, menurukan berita utama yang berjudul, “Pacitan Jatuh di Tangan TNI” disambung anak judul “Pembunuhan2 yang kejam”. Kepala beritanya menerangkan, “Tadi malam melalui corong Radio Surakarta, Residen Surakarta Sudiro dalam pengumumannya, di antaranya mengatakan, bahwa 56 jenazah yang diketemukan di Tirtomoyo itu, dibunuh oleh PKI Muso dan Amir cs. secara kejam sekali. Di antara jenazah-jenazah yang dikenal ialah bupati, patih, wedana, asisten Sukohardjo, asisten Tirtomoyo, Kiai Tremas dan dua orang iparnya, dan jenazah-jenazah lainnya tidak dapat dikenal.”
Dari kepala berita itu jelas dipahami bahwa yang dimaksud sebagai seorang pemuka agama Islam itu adalah Kiai Tremas. Dan jenazah Kiai Tremas atau Kiai Hamid Dimyati serta kedua iparnya, dapat dikenali. Lalu atas persetujuan pihak yang berwajib, dokter dan ulama, dilaksanakan pemulasaraan jenazah tokoh-tokoh itu sebagaimana mestinya. Jenazah para tokoh yang berjumlah 15 dimasukkan ke dalam peti dan dimakamkan dengan perhormatan secara besar-besaran di Taman Bahagia Jurug Solo. Sementara 41 jenazah lainnya yang tidak dikenali, dimakamkan di Dukuh Tirtomoyo.
Pemberitaan ini resmi disampaikan oleh wakil pemerintah di Surakarta, yaitu Residen Sudiro, yang menguatkan pengumuman dari staf Gubernur Militer. Pada masanya, informasi itu didengarkan oleh banyak orang karena disiarkan melalui radio. Pernyataan soal pemakaman secara besar-besaran juga menunjukkan bahwa peristiwa itu dihadiri oleh banyak orang. Menjadi jelas pula siapa saja 15 jenazah yang dimakamkan di TMP Jurug.
Jika melihat rentang waktu pemberitaan penangkapan dalam Pacific pada tanggal 14 dan informasi awal yang dimuat Merdeka pada 18 Oktober, dengan asumsi peristiwanya terjadi sehari sebelum pemberitaan, maka kemungkinan eksekusi itu berlangsung setelah tanggal 13 dan sebelum 17 Oktober 1948. Lalu bila merujuk penguasaan kembali Pacitan oleh Batalion Achmad Wiranatakusumah pada 15 Oktober, yang diikuti dengan penyisiran oleh pasukan TNI dan masyarakat sehingga lubang pembantaian di Tirtomoyo itu dapat ditemukan, besar kemungkinan eksekusi terjadi antara 14-16 Oktober 1948.
Anggota KNIP dari Masyumi
Kiai Hamid gugur dalam kapasitasnya sebagai Anggota KNIP dari Masyumi, dalam upayanya mencari bantuan pemerintah pusat untuk menyelamatkan Pacitan yang terimbas Madiun Affair. Upayanya digagalkan oleh Barisan Berani Mati yang terlibat dalam pemberontakan. Ia ditangkap di tengah perjalanan dan dibunuh di Tirtomoyo Wonogiri.
Keanggotaannya dalam KNIP sebagai wakil dari Masyumi Karesidenan Madiun, dikonfirmasi dalam buku karya Deliar Noer dan Akbarsyah yang berjudul KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950 (2005). Pada halaman 382 yang memuat lampiran nomor 14, tercantum daftar anggota KNIP yang akan bersidang pada Pleno KNIP ke-5 di Malang, 25 Februari sampai dengan 6 Maret 1947. Nama Hamid Dimjati, Masyumi, Madiun, tercantum pada urutan ke 30 dari 217 nama anggota. Kemudian pada lampiran nomor 17 di halaman 399, dicantumkan nama Saifuddin Zuhri sebagai anggota KNIP yang menggantikan Hamid Dimjati, untuk menghadapi Sidang Pleno ke-6 di Yogyakarta pada 6-15 Desember 1949. Pergantian ini berdasarkan Ketetapan Presiden No. 17/1949.
Keterangan tersebut memperkuat data yang sebelumnya ditemukan dalam dokumen NIOD yang dimuat di website ini pada 20 Februari 2023.
Kiai Hamid Dimyati, Anggota KNIP No. 288 yang Mewakili Termas
Dalam dokumen ini dijelaskan bahwa Kiai Dimjati Tremas, menjadi anggota KNIP urutan 288 yang bertugas mulai dari 28 Februari 1946 sampai kemudian digantikan oleh KH Saifuddin Zuhri.
Dengan demikian, kedudukan Kiai Hamid Dimyati sebagai Ketua Masyumi Pacitan dan Anggota KNIP, sudah didukung oleh dokumen yang saling menguatkan. Karena ia gugur dalam menjalankan tugas negara, dalam situasi yang sangat genting di Pacitan, sangatlah layak kalau gelar Pahlawan Nasional didedikasikan untuk pengorbananya itu. Wallahu a’lam.
Iip Yahya, alumni Tremas 1990, peraih Tremas Award dan Jaksa Agung Soeprapto Award 2024.