Ikhlas adalah ruhnya amal ibadah. Pada maqalah (statemen) Syaikh Ibnu ‘Athaillah yang ke-11, beliau mengajarkan tentang bagaimana para ‘pencari Allah SWT’ dapat menanam dan memperkokoh ikhlas dengan cara mengubur diri dari ketenaran dan popularitas.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah berkata:
ادْفنْ وجودَك في أرضِ الخمولِ فما نَبَتَ مما لم يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نَتَاجُه
“Benamkan keberadaanmu di bumi yang tersembunyi, apa yang tumbuh dari suatu yang tidak terpendam (di bumi) maka buahnya tidaklah sempurna.”
Popularitas (الشهرة) dan terkenal dengan nama baik (إنتشار الصيت) merupakan hal yang disukai dan diburu oleh kebanyakan orang. Padahal popularitas dan tenar dengan nama baik merupakan bagian dari nafsu yang harus dilawan, diperangi, dan ditaklukkan. Ia menjadi godaan yang sangat besar bagi seorang hamba yang mulai berproses menuju ma’rifat billah. Kenapa demikian? Sebab ketenaran/popularitas merupakan kesenangan atau kebahagiaan seseorang yang dapat membuat hati seorang hamba terlena dari Allah SWT.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah memberi gambaran bahwa ikhlas itu bagaikan tunas atau biji. Agar biji atau tunas dapat tumbuh dan berbuah dengan sempurna, maka biji itu harus ditanam atau dibenamkan ke dalam bumi. Apabila biji itu hanya diletakkan di atas tanah, maka bisa jadi ia tidak bisa tumbuh dan bahkan akan dimakan oleh burung. Seandainya biji yang hanya diletakkan dipermukaan tanah tersebut dapat tumbuh, maka akarnya tentu tidaklah kuat dan kokoh, ia dengan mudah akan roboh diterpa angin.
Sama halnya dengan biji, ikhlas itu juga harus dibenamkan ke dalam hati yang paling dalam, tidak hanya dipermukaannya saja. Ke dalaman hati untuk membenamkan keikhlasan seorang itu, berada pada keadaan atau kondisi dimana seorang hamba jauh dari ingar bingar ketenaran dan nikmatnya popularitas.
Menaklukkan nafsu popularitas dapat dilakukan dengan cara menjauhi lingkaran-lingkaran yang menjadi sebab ketenaran seseorang.
Lantas bagaimana jika seorang hamba diuji dengan ketenaran, popularitas, kedudukan dan jabatan oleh Allah SWT?
Ahli shufi (sufi) menyatakan bahwa seorang hamba yang diuji dengan hal tersebut hendaknya melakukan hal-hal yang dapat meruntuhkannya. Hendaknya ia melakukan hal-hal remeh, sesuatu yang dapat menghancurkan gensi yang umumnya tidak disukai oleh orang yang berkedudukan tinggi atau selebritis.
Lebih mudah bagi hamba pencari Allah SWT dalam menuju pintu ma’rifat-Nya, supaya menghindari belenggu popularitas, agar tertanam kuat keihklasannya.
Sayyid Abu Al-Abbas mengatakan “Barangsiapa yang mencintai eksistensi maka dia menjadi ‘hamba eksistensi’. Siapa yang mencintai kesunyian maka dia menjadi ‘hamba kesunyian’. Dan barangsiapa mencintai Allah maka dia menjadi ‘hamba Allah’. Baginya sama saja apakah eksis atau tidak (dia hanya menghamba pada Allah).
Semoga bermanfaat dan barokah
والله أعلم بالصواب
(Supriyono)
Sumber :NU Online