Bila Anda pernah nyantri di Tremas, ada yang berbeda dalam sistem pengajaran pelajaran shorof dengan pesantren salaf pada umumnya.
Perbedaan ini karena metode yg dikenalkan di Tremas menggunakan metode shorof atau Tashriful kalimah model Kiai Ali Maksum yang dikenal dengan nama ”الصَّرْفُ الْوَاضِحُ” . Sebuah ”temuan baru” yang beliau ciptakan ketika masih mondok di Tremas pada tahun 1927-1935 dan diujicobakan kepada para santri saat beliau menjabat sebagai Direktur Madrasah Nizhamiyah di Pondok Tremas yang beliau dirikan bersama Kiai Hamid Dimyathi.
Pada era kebangkitan Pondok Tremas tahun 50an, metode ini dikembangkan dan disempurnakan oleh murid Kiai Ali Maksum, yang tak lain pengasuh dan pimpinan madrasah Pondok Tremas, Kiai Harist Dimyathi dengan kitabnya دروس التصريف الترمسي (Al-Tashrif al-Tarmasi) dan menjadi salahsatu ciri khas Tremas hingga kini.
Hal sama juga terjadi di Krapyak. Sejak diselenggarakannya sistem madrasah di Pesantren Al-Munawwir pada tahun 1946 dan K.H. Ali Maksum menjadi salah satu diantara pengasuhnya, metode shorof ini diterapkan dan bertahan hingga sekarang.
Apa yang praktis dalam metode shorof karya Kiai Ali Maksum Krapyak ?
Pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan shorof cukup membantu mempersingkat masa belajar memahami Bahasa Arab. Namun karena metode pembelajaran yang ada kurang praktis, seperti adanya kata-kata atau kalimat yang tidak termasuk unsur pokok dalam pentashrifan, lalu ikut-ikutan di-tashrif. Seperti kata-kata ”فَهُوَ” dan ”وَذَاكَ” yang sebenarnya tidak perlu diikutsertakan dalam pentashrifan.
Melihat hal itu, Kiai Ali mencoba menawarkan metode pembelajaran shorof praktis yang disusun dengan sederhana hingga lebih mudah dipelajari, relatif praktis dan fungsional, tidak bertele-tele, serta terhindar dari pemborosan tenaga (energi) dan waktu dalam proses pembelajaran.
Adapun perbedaan dengan metode pembelajaran shorof model Jombang, karya Kiai Maksum Ali, metode pembelajaran shorof temuan Kiai Ali Maksum memiliki ciri khas dan perbedaan yang cukup mencolok pada tashrif ishtilahiy, sedangkan dari pentashrifan secara lughawiy relatif sama.
Beberapa perbedaan tersebut antara lain :
1) adanya pengklasifikasian secara tegas antara bentuk fi’il dan isim;
2) pembuangan kata-kata ”فَهُوَ” dan ”وَذَاكَ” yang sebenarnya tidak termasuk unsur penting dalam pentashrifan, sekedar sebagai variasi;
3) tidak mencantumkan dalam pentashrifan beberapa bentuk (shighat) kata/kalimat yang dipandang kurang berfungsi dan jarang digunakan dalam penggunaan bahasa Arab sehari-hari, seperti mashdar mim (المصدر الميم) dan isim alat (اسم الألة);
4) tidak mencantumkan bentuk fi’il nahi (الفعل النهي) dalam pentashrifan, karena merupakan bagian dari pembahasan ilmu nahwu;
5) bentuk-bentuk kata yang ditashrif terdiri dari 8 unsur pokok yang secara urut terdiri dari sighot: a) fi’il madhi; b) fi’il mudhori’; c) fi’il amar; d) isim mashdar; e) isim fa’il; f) isim maf’ul; g dan h) isim zaman dan isim makan.
Dengan demikian, pola dan metode shorof temuan Kiai Ali Maksum nampak menjadi lebih sederhana, praktis dan sistimatis, sehingga lebih mempermudah santri dalam mempelajari ilmu shorof dan bahasa Arab pada umumnya sehingga lebih mengefektifkan proses belajar dan lebih efisien (mempersingkat) masa belajar santri.
Ala kulli hal, kita layak berterimakasih kepada dua ulama penyusun metode pembelajaran tashrif, almaghfurlahuma, Kiai Maksum Ali Jombang dan Kiai Ali Maksum Krapyak, juga Allahu Yarham, Kiai Harist Dimyathi yg dengan gigih melestarikan apa yg telah diajarkan gurunya hingga metode pembelajaran shorof tersebut telah menjadi ikon bagi Pondok Tremas. (Ahmad Muhammad)