“Salah satu identifikasi naskah kuno adalah analisis stempel yang dalam bahasa Arab disebut khotam. Banyak sekali contoh-contoh stempel yang saya temukan dalam karya ulama Nusantara bentuknya pun unik. Saya menemukan jejak stempel keluarga at-Tarmasi diantaranya stempel KH. Haris Dimyathi dan stempel KH. Hamid Dimyathi dan ini adalah dalam rangka ngalap barokah dan melestarikan tradisi stempel,” demikian status yang ditulis oleh Almarhum Ahmad Saufan yang diunggah di dinding facebooknya pada tanggal 1 Juni 2018.
Status ini merupakan unggahan terakhirnya seputar koleksi manuskrip Tremas yang berhasil ia kumpulkan selama beberapa tahun terakhir sebelum ia meninggal dunia pada 28 Juni 2018 di rumahnya di Wonosobo Jawa Tengah.
Ahmad Saufan merupakan satu diantara alumni Pondok Tremas yang tengah mengumpulkan koleksi manuskrip yang berisi data-data penting seputar Pondok Tremas. Mulai dari sejarah berdirinya, tokoh-tokohnya, hingga karya-karya dari kiai Tremas yang masih berserakan di berbagai tempat dan belum sempat terkumpulkan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau KBBI, Manuskrip adalah naskah tulisan tangan yang menjadi kajian filologi: berbagai–masih tersimpan di museum dan belum pernah diselidiki; naskah, baik tulisan tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan cetakan).
Dalam istilah yang lebih luas, manuskrip merupakan warisan nenek moyang yang perlu dirawat dan dijaga. Sebab, manuskrip menjadi bukti warisan adat istiadat, sejarah suatu daerah, pemikiran masa lampau, termasuk berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menjadi khazanah kekayaan.
Perburuan koleksi manuskrip ini ia lakukan sendiri. Selain sebagai bekal untuk meraih gelar Doktor pada bidang Filologi yang sedang ia tempuh di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Jawa Barat, perburuan ini merupakan usahanya untuk meneropong kebesaran Pondok Tremas lewat jendela peradabanya.
Perburuan ini dimulainya saat ia masih belajar di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Ia berhasil mendapatkan informasi penting seputar hikayat pendiri pertama Pondok Tremas simbah KH Abdul Manan Dipomenggolo. Informasi ini ia dapat dari sebuah buku berjudul Jauh di Mata Dekat di Hati; Potret Hubungan Indonesia — Mesir terbitan KBRI Kairo.
Buku terbitan tahun 2010 itu menulis, pada tahun 1850-an di komplek Masjid Al Azhar telah dijumpai komunitas orang Indonesia. Dan nama KH Abdul Manan Dipomenggolo tercatat sebagai salah satu pelajar Indonesia pertama yang tinggal dan belajar di Al Azhar Mesir. Selama di Negeri Piramid, beliau berguru kepada Grand Syeikh ke-19, Ibrahim Al Bajuri.
Informasi berharga ini kemudian ia teruskan kepada keluarga Pondok Tremas. Dengan mengirimkan buku tersebut ke Indonesia. Sejak saat itulah sedikit demi sedikit kiprah Simbah KH Abdul Manan yang mashur pada masanya itu mulai terkuak.
Sebab selama ini hikayatnya laksana hilang terkubur. Tak banyak catatan yang menulis tentang biografinya atau karya-karyanya. Selama ini buku berjudul Mengenal Pondok Tremas dan Perkembanganya yang disusun oleh KH Muhammad Habib SH menjadi satu-satunya buku sejarah yang menjadi pengangan keluarga, santri dan alumni Pondok Tremas. Selebihnya belum pernah ada yang menulisnya.
Setelah penemuan pertama itu ia semakin bersemangat menggali dan memburu naskah kuno yang berkaitan dengan Pondok Tremas. Sepulang dari Mesir, ia kemudian rajin mengunjungi almamaternya Pondok Tremas, para alumni sepuh, jaringan kiai yang bertalian dengan Tremas, hingga mengunjungi tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai sejarah.
Tercatat ia sudah mengunjungi berbagai tempat dan berhasil memperoleh beberapa koleksi manuskrip, berupa naskah kitab, silsilah keluarga, dokumen lawas, gambar-gambar dan beberapa peninggalan lainya di masa lalu. Penemuan ini kemudian diinventarisir dengan baik.
Menurut alumni yang semasa nyantri pernah tinggal di asrama Al Ianah itu, mengumpulkan naskah kuno bukan sebuah pekerjaan yang gampang dan bukan tanpa kendala. Butuh kesabaran, keseriusan, dan ketelitian. Yang membuatnya tetap bertahan dan semakin semangat karena motivasi dari keluarga Pondok Tremas. Salah cita-citanya yang belum sempat tercapai adalah mengunjungi museum Leiden di Belanda yang menyimpan banyak kisah perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai orang yang cukup aktif di media sosial, Ia juga cukup rajin mengunggah hasil penelitianya itu di akun media sosialnya. Tentunya setelah melalui serangkaian identifikasi yang panjang. Sebagian unggahanya berisi data dan fakta anyar yang sebelumnya tidak pernah dipublish oleh siapapun. Sehingga setiap hasil penelitianya ibarat harta karun yang sangat berharga.
Sebagai seorang yang fokus dalam kajian filologi, ia paham betul bagaimana Preservasi (pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan) terhadap naskah-naskah kuno yang masih tersebar di berbagai tempat perlu dilakukan. Sehingga dalam beberapa kesempatan ia sering memberikan motivasi kepada para santri dan alumni lainya untuk sama-sama peduli dengan keberadaan manuskrip tremas yang kaya itu.
Dalam sebuah acara seminar yang digelar oleh panitia Perpustaan Attarmasi pada 10 Februari 2018, dimana ia menjadi salah satu narasumbernya bersama kang Iip Dzulkipli Yahya, Ahmad Muhammad, Imam Muhtar dan penulis sediri, ia mendorong para santri untuk giat menghidupkan kegiatan literasi. Dengan harapan kedepan mereka bisa menulis sendiri tentang profil masyayikh, kisah-kisah unik di Pondok Tremas, sehingga generasi yang akan datang tidak kepaten obor.
Kiranya tidak berlebihan, kalau Ahmad Saufan disebut sebagai salah satu alumni yang mempelopori dan peduli terhadap manuskrip Tremas. Kini setelah hampir satu tahun sejak kepulanganya menghadap sang pencipta, proyek besar pengumpulan manuskrip yang pernah dimulainya tersebut jadi terbengkalai. Lalu siapa lagi dan mampukah kita melanjutkan usaha mulai itu? Semoga kedepan segera muncul generasi baru yang mampu melanjutkanya. Amiin. (Zaenal Faizin)