Berawal dari sebuah diskusi tentang sejarah Tremas dua tahun silam, tepat awal masa pandemi Covid-19, bersama beberapa rekan alumni, kami menemukan banyak fakta menarik seputar sejarah Pacitan yang selama ini belum diketahui khalayak.
Temuan-temuan itu setidaknya memberi petunjuk dan bisa menjadi hipotesis dan penanda awal pembuktian historis keberadaan Tremas — salahsatu desa penting di Pacitan, sebagai titik pusat peradaban yang memiliki jejak dan pengaruh besar bagi lahirnya peradaban ilmu pengetahuan di bumi wengker kidul tersebut. Saudara Iip Dzulkipli Yahya yang intens terlibat dalam diskusi akhirnya didapuk untuk merangkum obrolan tersebut dan saya tulis ulang dengan beberapa tambahan sebagai berikut :
Dalam buku The Stone Ages of Indonesia (1957), Pacitan bisa disebut sebagai kawasan purba. Pada bagian The Lower Palaeolithic Cultures (h. 27-35), dijelaskan sejumlah penemuan artefak pra sejarah di seputar Pacitan sekarang. Sementara dilihat dari kontur tanah, wilayah Tremas kemungkinan sudah dihuni manusia sejak era tersebut. Dalam disiplin geologi dikenal nama “sesar Tremas/N045oE” (Analisis Dinamik Tegasan Purba pada Satuan Batuan Paleogen, 2003).
Saat pengaruh agama Hindu mulai masuk ke Swarnadiva, mereka masuk melalui pelabuhan Pacitan. “There are only two harbours—Chilachap and Pachitan—on the southern coast, which is exposed to the open sea, with a heavy and dangerous surge rolling on it.” (Ancient Indian Colonies, In The Far East Vol. II, Suvarnadvipa, Part I — Political History, h. 92).
Bahkan pada masa Majapahit, Pacitan sudah dikenal sebagai penghasil lada yang diekspor ke China melalui Tuban. (Uka Tjadrasamita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 52). Ini juga menjadi bukti tak terbantahkan, bahwa Pacitan memainkan peranan penting dalam sejarah Majapahit sebagai wilayah yang memberi devisa bagi kerajaan. Dan ini terus berlanjut hingga masa penjajahan bangsa Eropa, yang menjadikan Pacitan sebagai daerah tujuan penting. The History of Java (I) hal. 10, mencatat, “The three harbours of Wyn Coops Bay, Cheláchap, and Pachítan, on the latter, are laid down from actual survey, as well as the entrance to the harbour of Surabáya.”
Mengenai kejayaan kebudayaan Hindu di Pacitan (Tremas) era Majapahit, bisa dibuktikan dengan penemuan beberapa artefak penting sisa reruntuhan dan puing-puing terpendam saat Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo merintis pesantren di Tremas.
Mantan Residen Madiun L. Adam juga menyebutnya, “Hindoe-Javaansche resten werden aangetroffen” (Djawa, 1940, h. 345). Ia menyebut kawasan itu sebagai satu-satunya wilayah komunitas Hindu yang tersisa di akhir kekuasaan Majapahit. Penemuan sejumlah artefak penting pada 1892, termasuk sisa-sisa candi di Karang Asem (Inventaris der Hindoe-oudheden op den grondslag, 1915-1923, h. 139). Sebuah temuan yang kemudian menjadi bukti historis daerah tersebut (Tremas) punya magnit luar biasa hingga menjadi wilayah terakhir yang bisa ditaklukkan. Temuan yang kemudian dikenal sebagai candi di Gunung Lembu dalam de Indische Courant edisi Agustus 1938.
Besarnya pengaruh wilayah ini terus merembet hingga puncaknya pasca Perjanjian Giyanti yang memisahkan wilayah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, wilayah Pacitan terbagi dalam dua pengaruh kerajaan tersebut.
Dari sekilas sejarah di atas, Tremas, bisa dibilang bukan sekadar desa di ujung barat daya propinsi Jawa Timur. Bahkan desa yang terletak di lembah gunung Manukan tersebut memiliki magnit luar biasa dan kembali menggeliat sebagai kawasan berpengaruh sejak mendapat predikat kawasan perdikan dari penguasa Kasunanan Surakarta. Desa perdikan menjadi sebuah simbol penting tentang arti kebebasan yang kemudian mewujud sebagai pusat peradaban ilmu hingga di kemudian hari melahirkan banyak ulama cendekia penting dan berpengaruh yang banyak melahirkan pesantren di seantero Nusantara.
Penulis : Adeahmad
Redaktur : Zaenal Faizin