FIKIH KURBAN; SOLUSI PROBLEMATIKA IBADAH KURBAN (1)

Fikih Kurban; SOLUSI PROBLEMATIKA IBADAH KURBAN (1)

0
2327

Setiap tahun di seluruh belahan dunia Islam, ibadah kurban dilaksanakan seiring berjalannya ibadah haji di Arafah. Saat memasuki tanggal 10 Dzulhijjah, para mudlahhi harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan penyembelihan, baik sebagai panitia maupun pemilik hewan kurban.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di masyarakat:

Bagaimana hukum memotong kuku dan rambut bagi orang yang berkurban?

Menurut Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab Hasyiah I’anah at Thalibin, juz 2 halaman 334, menghilangkan kuku, rambut atau bulu yang berada di anggota tubuh orang yang akan melaksanakan kurban adalah makruh. Tujuannya adalah agar seluruh tubuhnya mendapatkan ampunan dan terbebaskan dari api neraka.

Bagaimana hukum berkurban untuk orang lain?

Mayoritas ulama madzhab Syafi’i berpendapat jika kurban diperuntukkan orang yang sudah meninggal, maka hukumnya tidak sah, kecuali jika ada wasiat. Sementara menurut Imam al Rafi’i hukumnya sah meskipun tanpa wasiat. Sedangkan kurban untuk orang yang masih hidup hukumnya tidak sah sebelum mendapatkan izin. (Syihabuddin al Qalyubi, Hasyiah al Qalyubi, Dar al Fikri, Vol. 4, Hal. 256).

Adapun kurban untuk orang yang meninggal yang didahului wasiat, maka hukumnya sah dan harus dibagikan keseluruhan dagingnya, pihak yang berkurban tidak boleh memakannya atau mengambil bagian daging untuk keluarganya. Sebab, dalam hal ini orang yang berkurban adalah sebagai wakil dari mayit dalam membagikan daging kurban, sehingga jika ia mengambil untuk dirinya dan keluarganya, maka akan terjadi ittihadu al qabidl wa al muqbidl (dualisme peran menyerahkan dan menerima barang) yang tidak diperbolehkan. (Sulaiman al Bujairami, al Bujairami ‘ala al Manhaj, dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Vol. 4, Hal. 403)

Ucapan Orang Awam: “Ini Kurbanku”

Perkataan orang awam “ini kurbanku”, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Pertama, ucapan tersebut dapat menjadikan hewan berstatus kurban wajib yang harus disertai niat saat penyembelihan dan alokasi dagingnya seperti kurban nadzar.

Kedua, jika kalimat tersebut diucapkan karena ketidakmengertian orang awam akan konsekuensinya dan tidak berniat nadzar, maka tidak menjadi kurban wajib. Dalam hal ini syari’at Islam mentolerir perbuatan dan perkataan orang awam tadi. (Muhammad bin Ahmad bin Umar asy Syathiri, Syarh al Yaqut an Nafis, Dar al Manhaj, Hal. 825; Abd al Hamid asy Syirwani, Hasyiyah asy Syirwani, Dar al Fikr, Vol. 9, Hal. 403)

Menurut Syaikh Abdullah bin Muhammad Baqusyair dan Sayyid Umar Bashri dalam Qolaid al Kharaid juz 2 hal. 384-385, apabila bertujuan memberi kabar bahwa hewan tersebut adalah kurban sunah, maka menjadi kurban sunah.

Zakariya al Anshari dalam kitab Fathul Wahab bependapat:

ويسن أن يذبح الأضحية رجل بنفسه إن أحسن الذبح وأن يشهدها من كل به لأن صلى الله عليه وسلم ضحى بنفسه رواه الشيخان وقال لفاطمة قومي إلى أضحيتك فاشهديها فإنه بأول قطرة من دمها يغفر لك ما سلف من ذنوبك رواه الحاكم وصحح إسناده

“Disunahkan menyembelih hewan kurban sendiri bila ia pandai menyembelih dan dianjurkan pula menyaksikan proses penyembelihan bila diwakilkan, sebagaimana terdapat di riwayat Bukhari-Muslim. Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah RA: pergilah untuk melihat penyembelihan kurbanku, karena pada tetes darah pertama akan diampuni dosamu yang telah berlalu. Hadits ini diriwayatkan oleh al Hakim dan sanadnya shahih.”

Sebaiknya, penyembelihan hewan kurban dilakukan sendiri, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ini menjadi anjuran selama orang yang berkurban pandai dan mampu menyembelih sendiri. Disunnahkan melihat sendiri prosesi penyembelihan hingga selesai bila diwakilkan kepada orang lain atau panitia kurban. (Redaksi/Yusuf A.)