Tremas dalam Media Belanda

0
3619

Saya saling berpandangan beberapa saat dengan almarhum Ade Muhmmad. Suatu ketika saat kami secara intensif membahas sejarah Tremas. Kami antara lain mendiskusikan temuan data yang sungguh mengagetkan. Sebuah artikel panjang yang ditulis dalam harian De Indische Courant edisi 2 dan 5 Agustus 1938, membahas Pesantren Tertua di Jawa. Ada beberapa pesantren yang dikunjungi dan ditulis, termasuk Tremas.

Artikel itu berjudul, “Naar Java’s Oudste Santrischoolen” (Mengunjungi Pesantren Tertua di Jawa) , ditulis oleh Koresponden dari Malang. Sayang memang, tidak disebutkan nama asli dari penulisnya, sebuah kebiasaan yang lazim waktu itu.

Agar tidak salah memahami isi artikel, kami meminta bantuan Edhi Susanto yang saat itu masih bekerja di KBRI Belanda, untuk mencarikan penerjemah ahli. Setelah diterjemahkan oleh seorang wartawan senior yang lama tinggal di Belanda, kami bisa memahami laporan kunjungan itu dengan lebih baik.

Salah satu bagian artikel itu menjelaskan bahwa
pesantren-pesantren tertua di Jawa, terletak di Ponorogo Selatan. Pesantren tersebut memiliki jumlah murid terbanyak, mengalahkan jumlah murid di Lyceum Umum, dan didirikan sekitar 2 – 3 abad lalu.

“Pesantren terbesar, yang jumlah santrinya mencapai ratusan orang, terletak di desa Tremas di Pacitan. Jumlah murid di pesantren ini kadang bisa mencapai lebih dari 1.000 orang.”

Lalu, yang membuat kami terhenyak, dalam satu paragraf disebutkan bahwa Pesantren Tremas, saat itu, sudah berusia 250 tahun.

“Sebentar dulu, Kang,” ujar Mas Ade. “Saya senang dengan temuan data ini, tapi saya terus terang, masih kesulitan mengaitkan sejarahnya dengan data yang selama ini kita dapatkan.”

Saya tak langsung menjawab. “Tapi tidak mungkin si penulis artikel ini ngarang kan? Dia pasti mendapatkan informasi tersebut dari pengasuh saat itu, Kiai Hamid Dimyati atau sesepuh yang masih ada seperti KH Abdur Rozaq.”

Setelah panjang lebar membahas konsekuensi sejarah dari temuan ini, akhirnya kami bersepakat bahwa perlu pendalaman lebih jauh dan lebih sabar menggali data. Tak lama kemudian Mas Ade mendahului kita semua, menyusul Akhmad Saufan, kembali ke haribaan Ilahi.

Saat melihat dari dekat, larut dalam syukur dan rasa bahagia, serta mengikuti setiap rangkaian peringatan Dua Abad Tremas melalui tayangan online, saya diingatkan kembali dengan diskusi bersama Mas Ade itu. Saat muncul pertanyaan apakah Tremas benar-benar sudah melewati usia dua abad? Membaca kembali artikel di koran berbahasa Belanda itu, saya akan katakan, ” Yes.” Tanpa keraguan sedikitpun.

Selamat memasuki Abad Ketiga untuk PIP Tremas.

Iip Yahya, alumni tahun 1990.