KH Habib Dimyathi, Tremas dan NU

0
2870

Pasca peristiwa Affair Madiun, 1948, yang menyebabkan gugurnya para syuhada, termasuk Kiai Hamid Dimyathi, pengasuh Pondok Tremas, roda kepemimpinan pondok mengalami masa fatroh. Sementara hampir sebagian besar santri memilih pulang karena situasi politik yang genting hingga pesantren tinggal menyisakan sedikit santri.

Pada saat sulit tersebut, kiai Habib, adik Kiai Hamid, tidak tinggal diam. Beliau kemudian dengan sigap menunjuk adik sepupunya, Kiai Ndari, untuk menghidupkan madrasah agar aktifitas belajar tetap hidup, meski dengan jumlah santri sangat sedikit. Sementara Kiai Habib terus melakukan lobi dan kontak dengan beberapa alumni, almamater dan guru-guru beliau untuk memastikan bahwa Pondok Tremas masih “hidup”. Beliau juga terus mencari santri yang mau mondok ataupun ngajar di Tremas.

Diluar situasi membangun kembali eksistensi pondok, eskalasi politik nasional juga sedang memanas dengan keluarnya NU dari Masyumi, dimana secara tak langsung turut memengaruhi hubungan baik NU dengan Tremas, yang memilih tetap bertahan di Masyumi dengan alasan menghindari perpecahan umat Islam yang lebih besar, “Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.”

Hal yang tak diketahui oleh publik, khusus para kiai dan petinggi NU, bahwa sikap para pengasuh di depan santri dan masyarakat tetap mendukung Partai NU, sebagaimana sikap Den Dur kepada masyarakat dan santri, membiarkan dan menyilahkan mereka tetap memilih Partai NU pada pemilu pertama tahun 1955.

Partai NU menang di Tremas, tapi hubungan NU dengan Tremas justru merenggang.

Situasi ini menambah berat tugas Kiai Habib. Di satu sisi beliau harus menjauhkan Tremas dari dunia politik yang masih meninggalkan trauma mendalam dengan syahidnya Kiai Hamid, di sisi lain beliau harus tetap menjalin relasi dengan NU, sebagai bentuk khidmah pada guru (KH Hasyim Asy’ari) dan melanjutkan apa yg telah dirintis sang ayah (KHM Dimyathi), dimana keikutsertaan Mbah Dim pada muktamar NU di Pekalongan, 1930, dilihatnya sebagai isyarah, bahwa Tremas, langsung atau tidak langsung harus memiliki ketersambungan dengan jamiyyah NU.

Setelah kondisi pesantren dan roda madrasah mulai stabil di bawah pimpinan Kiai Haris sejak 1954, menggantikan sepupunya, Kiai Ndari, juga bimbingan kepada masyarakat diemban Kiai Hasyim Ihsan, Kiai Habib bisa lebih leluasa bergerak membangun jaringan keluar dan menjalin relasi dengan para kiai NU. Hal ini penting beliau lakukan mengingat stigma yang tak nyaman dan terlanjur melekat terkait rumor kedekatan Tremas dengan penguasa dan ormas lain hanya karena beberapa alumninya aktif di ormas lain dan pemerintahan. Tugas beratnya mewartakan sikap Tremas yang sesungguhnya, terkait relasinya dengan jamiyyah NU menjadi pekerjaan yang tidak ringan, butuh ikhtiar dan perjuangan lahir batin.

Sementara dalam perkembangannya, madrasah yang dirintis dengan sistem pendidikan salafiyah juga sempat mengalami hambatan di tengah jalan. Kiai Haris yang berjuang keras membangun kembali madrasah dengan metode salafiyah, sebagaimana telah dirintis para pendahulunya, pernah mengalami turbulensi saat ada usulan dan gagasan sebagian alumni yang punya link dengan kekuasaan hendak membangun sistem pendidikan yang lebih modern. Kiai Haris menolak keras usul tersebut sebagai bentuk komitmen beliau menjalankan amanah para muasis dan sikap konsistennya untuk tidak mau diintervensi dalam hal apapun, khususnya terkait pengelolaan model pendidikan yang sudah lebih dulu mapan dan telah menjadi pilihan ijtihad para muasis Pondok Tremas.

Sementara, jatuh bangun perkembangan relasi Tremas dengan NU, khususnya dekade 70an hingga 90an menjadi masa yg cukup berat, meski segala upaya terus dilakukan. Kedekatan kiai Habib dengan Rais Aam NU waktu itu, KH Ali Maksum tak diragukan lagi. Keduanya saling kunjung sebagai sinyal, bahwa Tremas tidak pernah berubah dalam melihat NU sebagai rumah besarnya. Bahkan untuk memastikan sikapnya, putra-putra beliau, Gus Mamuk dan Gus Fuad dipondokkan di Krapyak untuk dididik langsung dan mengabdi pada Kiai Ali.

Tidak kalah dekatnya, hubungan beliau dengan Pak Ud ( KH Yusuf Hasyim, Tebuireng) yang sangat akrab. Saling kunjung dan pasti bertukar joke maupun guyonan hingga gojlokan selalu mewarnai kedua karib sejak mondok di Krapyak itu.

Dua indikator ini hanyalah sebagian kecil ikhtiar beliau, KH Habib Dimyathi, menjaga transmisi relasi Tremas dengan NU, sesuatu yang sudah saatnya dilanjutkan oleh generasi sekarang, keluarga maupun alumni, dalam bentuk khidmah yang riil kepada Jamiyyah Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terdepan yg memilik komitmen dan lkhtiar merawat Islam ahlussunah wal jamaah yg rahmatan lil alamin demi kehidupan yang mardhatillah di bumi pertiwi, Indonesia menuju cita-cita”Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofuur.

Lahu walahumul fatihah ….

Penulis : Ade Ahmad