Haid secara etimologi berarti mengalir. Sedangkan haid secara terminologi adalah darah yang keluar dari farji/kemaluan seorang wanita setelah umur 9 tahun, dengan sehat (tidak karena sakit), tetapi memang kodrat wanita, dan tidak setelah melahirkan anak. Dasar haid di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 222.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222
Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Ayat ini turun–sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim di dalam kitab shahihnya–sebagai respon atas fenomena kaum Yahudi yang memperlakukan wanitanya yang sedang haid dengan tidak manusiawi. Mereka akan mengusirnya, tidak mau tinggal seatap dan enggan makan bersama-sama seoalah-olah wanita ketika haid adalah manusia yang menjijikan. Allah menurunkan ayat ini yang menjelaskan bahwa haid memang darah kotor sehingga dilarang bagi suami untuk melakukan hubungan badan dengannya selama ia haid sampai datang masa suci. Nabi SAW juga menegaskan kembali di dalam sabdanya, “Lakukan apa saja kecuali jimak,” yaitu boleh bagi suami untuk tetap tinggal seatap dengan istrinya, makan bersama dan melakukan aktivitas bersama-sama dengan istrinya seperti biasa ketika suci kecuali berhubungan badan.
Sedangkan dasar haid dari hadits Nabi SAW adalah sebagaimana tergambar dalam hadits Nabi SAW riwayat Aisyah RA di dalam Shahih Al-Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ قَالَ : سَمِعْتُ الْقَاسِمَ يَقُولُ : سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لاَ نَرَى إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي ، قَالَ : مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ
Hadits di atas menyebutkan bahwa Aisyah RA saat berhaji dengan Rasulullah SAW dan ketika sampai di Kota Sarf ia menangis karena haid sehingga ia tidak dapat melanjutkan ibadah hajinya. Rasulullah SAW mencoba menenangkannya dengan mengatakan, “Sungguh ini adalah perkara yang telah ditetapkan Allah untuk anak-anak prempuan keturunan Adam, maka selesaikanlah rangkaian ibadah haji yang harus diselesaikan selain Thawaf.” Aisyah berkata, “Dan (setelah itu) Rasulullah SAW menyembelih sapi untuk para istrinya.”
Cerita Aisyah RA ini mengajarkan kepada seluruh wanita agar tidak perlu bersedih ketika mengalami menstruasi karena hal ini sudah ketentuan Allah SWT yang diberikan kepada setiap wanita dan tentunya ada hikmah dan manfaat di baliknya. Beberapa hikmah dan manfaat adanya darah haid adalah:
1. Latihan bagi wanita menghadapi cairan sperma yang menjijikkan untuk sebagian wanita. Karena ketika seorang wanita menikah, maka ia harus siap menghadapi cairan suaminya berupa cairan sperma sehingga wanita harus melatih dan membiasakan dirinya menghadapi dan membersihkan darahnya sendiri yakni darah haid sebelum ia akan menghadapi cairan yang lebih menjijikkan lagi yakni sperma.
2. Melatih wanita lebih rajin, tidak jijik dan cekatan. Selain mengurus suami ia juga akan mengurus dan merawat anak-anaknya, membersihkan kotoran-kotorannya dan najis-najisnya. Allah SWT memberikannya latihan stimulasi berupa haid agar ia rajin, tidak merasa jijik dengan najis-najis, cekatan dalam merawat bayi serta mengerti cara mencuci yang baik.
3. Makanan bagi janin di dalam rahim wanita. Karena janin yang ada di dalam rahim seorang wanita tidak dapat makan sebagaimana yang dimakan oleh anak di luar rahim. Tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya. Allah SWT telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dicerna. Oleh karena itu, apabila seorang wanita tidak sedang dalam keadaan hamil, maka darah yang seharusnya dicerna oleh janin itu akan keluar dan menjadi darah haid atau menstruasi. Sementara bagi ibu yang sedang hamil, maka jarang sekali akan mengeluarkan darah haid karena telah dicerna oleh sang janin di dalam kandungannya.
Uraian ini disarikan dari kitab I’anatun Nisa’, Risalatul Mahidh dan Risalah fid Dima’it Thabi‘iyyah lin Nisa’, Shahihul Bukhari, dan Shahih Muslim, At-Tafsirul Munir. Wallahu a‘lam. (Annisa Hasanah/NU Online)