Ketua Umum Gerakan Nasional Ayo Mondok, KH. Luqman Harist Dimyathi, yang juga pengasuh Perguruan Islam Pondok Tremas, menyerukan sebuah visi penting bagi masa depan pesantren: mewujudkan pesantren yang ‘bersih, sehat, dan ramah anak’. Seruan ini disampaikan dalam gelaran Muhasabah dan Halaqah Gerakan Nasional Ayo Mondok di Pondok Pesantren Al-Amien Ngasinan, Kediri, pada Rabu (28/05/2025). Inisiatif ini sejalan dengan nilai-nilai luhur Nahdlatul Ulama yang senantiasa mengedepankan kemajuan dan kemaslahatan umat.
Kiai Luqman, yang merupakan sosok sentral dalam Gerakan Nasional Ayo Mondok, mengenang kembali cikal bakal gerakan ini yang dimulai pada 1 Juni 2015 di PBNU. Setelah sempat terhenti akibat pandemi, momentum kebangkitan pesantren kini tiba. “Tekad bulat untuk mewujudkan pesantren yang ‘bersih, sehat, dan keren’ demi mencetak generasi santri yang unggul,” tegasnya, menunjukkan komitmen kuat terhadap kualitas santri.
Salah satu fokus utama yang disoroti oleh Kiai Luqman adalah perlunya mengubah stigma negatif yang kerap melekat pada pesantren, seperti anggapan ‘gudik’. Beliau menyerukan pengamalan ajaran thaharah (kebersihan) yang telah tertulis dalam kitab-kitab turats, seperti faslun fil thaharah. Ini adalah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai dasar kebersihan dalam Islam, yang selaras dengan adagium bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. “Mohon maaf, gudik itu penyakit apa barokah? 98% jawabannya barokah. Ini harus kita ubah,” ujarnya, mengajak untuk merefleksi ulang pemahaman lama.
Pesantren Ramah Anak dan Pencegahan Kekerasan
Kiai Luqman Harist Dimyathi juga menyoroti isu kekerasan dan perundungan di pesantren, merespons keprihatinan yang sebelumnya disampaikan oleh Gus Han dan Ning Alissa Wahid. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa insiden santri terluka permanen atau bahkan wafat tidak boleh terulang kembali. Ia mengusulkan konsep pesantren ramah anak untuk diintegrasikan sebagai kurikulum lokal. Gerakan Ayo Mondok, tegasnya, tidak akan mengintervensi kurikulum yang sudah ada, melainkan bersifat ifadah wa istifadah (memberi dan menerima manfaat) dan memberikan panduan praktis terkait ta’zir yang mendidik.
“Kalau bicara ta’zir ya ta’zir, tapi kan ada ana uridu wa anta turidu wallahu yaf’alu ma yuridu (Aku ingin dan kamu ingin, dan Allah melakukan apa yang Dia kehendaki). Ini yang harus kita konsep, ta’zir mana yang membuat santri itu jera,” jelas beliau, menunjukkan kebijaksanaan dalam pendekatan ta’zir.
Inovasi dan Al-Akhdzu Bil Jadidil Ashlah
Mengutip kaidah ushul fiqih yang masyhur, “Al-Muhafadhotu Ala Qadimish Sholih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah” (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik), Kiai Luqman mendorong pesantren untuk tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga berani mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Beliau mengapresiasi Pondok Al-Risalah dan Lirboyo yang sukses mengintegrasikan inovasi tanpa sedikit pun menghilangkan nilai salafiyah.
“Kiai sepuh, Kiai muda, Nyai sepuh, Nyai muda, sudah tidak bisa lepas dari teknologi. Handphone semuanya sudah punya,” katanya, menggambarkan realitas adaptasi teknologi di kalangan kiai dan nyai.
Kiai Luqman Harist Dimyathi menegaskan bahwa Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 adalah harga mati bagi kemajuan pesantren. Beliau berharap, melalui muhasabah ini, pesantren terus berkembang menjadi lembaga pendidikan yang bermanfaat bagi umat dan menjadi mercusuar peradaban. “Alhamdulillah, Kyai Anwar Iskandar merespon ini semuanya dan memfasilitasi kegiatan ini,” pungkasnya, mengapresiasi dukungan yang diberikan.