Keistimewaan Metode Pengajaran Kiai Hamid Dimyathi Tremas

0
1165

Tulisan singkat ini bersumber dari buku KH Muhammad Habib Dimyathi, Mengenal
Pondok Tremas dan Pekembanannya (1989) dan ingatan penulis sebagai santri Pesantren Krapyak Yogyakarta (1984-86) yang diasuh oleh KH Ali Maksum dan Pesantren Tremas Pacitan (1986-90) yang diasuh tiga kiai; KH Habib Dimyathi, KH Harits Dimyathi dan KH Hasyim Ihsan.

Kiai Ali Maksum mengaji di Tremas pada tahun 1927-35. Ia mengaji kepada Kiai Dimyathi
dan pada dua tahun terakhirnya di Tremas, menemani Kiai Hamid Dimyathi yang menjadi
pengasuh setelah ayahnya wafat. Usia keduanya hanya selisih satu tahun. Kiai Hamid lahir 1914 dan Kiai Ali tahun 1915.

Ayahanda Gus Ali, Kiai Maksum adalah santri senior Kiai Dimyathi yang sempat ikut
mengajar di Tremas sebelum kemudian mukim di Lasem. Saat Gus Ali mulai mengaji di Tremas, pada waktu hampir bersamaan, Gus Hamid mengaji di Lasem. Dengan demikian di antara keduanya terjalin hubungan guru-murid yang sangat dekat. Apalagi di kemudian hari, Gus Habib dan Gus Harits mengaji kepada Kiai Ali setelah mukim di Krapyak Yogyakarta.

Saat Kiai Dimyathi wafat pada 1934, Gus Hamid menjadi penggantinya melanjutkan
kepengasuhan Pesantren Tremas. Gus Ali ikut menemani masa-masa awal peralihan itu dengan melakukan sejumlah terobosan, di antaranya mengadopsi sistem klasikal yang sudah dikembangkan sejak 1928 di Pesantren Tebuireng, Jombang. Semangat nasionalisme juga tampak dari tambahan materi pelajaran untuk santri seperti ilmu bumi, sejarah, berhitung dan bahasa Indonesia.

Tertib Administrasi

Hal penting lain yang diterapkan oleh Kiai Hamid adalah tertib adminitrasi pesantren,
dimulai dengan pencatatan santri yang masuk dan keluar. Salah satu buktinya masih dikoleksi oleh keluarga Pesantren Popongan, Klaten, berupa kartu izin pulang.

Sebagaimana umum diketahui, setiap santri Tremas, mempunyai hak untuk mengajukan izin pulang atau bepergian keluar pesantren, paling banyak tiga kali dalam setahun. Sekali dalam satu kwartal. Selain pulang menjelang hari raya, santri juga bisa izin untuk menengok orang tua yang sakit atau ada kepentingan lain yang tidak bisa diwakilkan. Setelah mengajukan izin kepada pengurus, santri harus sowan kepada kiai untuk mendapatkan tanda tangan. Dengan cara ini, diharapkan tidak ada santri yang izin keluar pesantren hanya untuk hal-hal yang tidak penting.

Kartu izin pulang ini diberikan kepada H. Moh.Jasin, nomor induk santri 2346, pada 3 November 1937. Tujuannya ke Popongan, Klaten.

Di bagian bawah ada keterangan bahwa pemegang kartu tidak punya urusan dengan kepolisian. Ini semacam jaminan kelakuan baik. Jasin lahir pada 1914, seusia dengan gurunya. Saat mendapatkan kartu izin pulang ini, ia berusia 23 tahun. 3 November 1937 adalah hari Rabu, bertepatan dengan 29 Sya’ban 1356 H. Ia meminta izin pulang untuk liburan puasa pada tahun itu.

Iklim Akademik

Pada saat mondok di Krapyak, kawan-kawan yang berasal dari Tasikmalaya mengajak saya
untuk sowan kepada KH Kholil, seorang ulama yang pernah mengajar di Pesantren Cintawana Tasikmalaya, yang kemudian tinggal di Bojong Kaum, Kota Tasikmalaya. Menurutnya, pada pertengahan 1930-an, bersama sejumlah santri dari Tasikmalaya, mereka mengaji di Tremas. Pergi mondok di pesantren yang sangat terkenal pada waktu itu, tentu saja mereka sudah memiliki bekal ilmu dasar yang cukup.

“Saat itu saya sudah hafal Alfiyyah Ibnu Malik,” ujarnya.

Sesampainya di pesantren, ia bersua banyak santri yang juga sudah berbekal ilmu sebelum
tiba di Tremas. Salah seorang yang memukaunya ialah santri senior bernama Ali Maksum dari Lasem. Kholil menyampaikan keinginanya untuk mengaji khusus kepada Gus Ali. Keinginannya itu dipenuhi dan diberi tugas untuk sorogan kitab berjudul Al Hushunul Hamidiyah karya Sayyid Husain Afandi.

Pada waktu yang sudah disepakati, Kholil membaca kitab tersebut di hadapan Gus Ali.
Ternyata kitab tersebut tak mudah dibaca dan terdapat banyak susunan bahasa yang tidak biasa.

Antara mubtada dan khobar kadang berjauhan, disela oleh kalimat penjelasan yang panjang. Bolak-balik bacaan Kholil disalahkan, disuruh mengulang, dan kalau sudah mentok, baru dibenarkan oleh Gus Ali. Kholil pun jadi penasaran dan sangat tertantang. Sebelum mengaji kepada Gus Ali, ia berusaha lebih keras agar bacaannya tepat dan lebih lancar.

Pada akhirnya kitab itu pun khatam dibacanya. Lalu dengan ringan Gus Ali berkomentar,
“Nah, kamu sekarang sudah bisa baca kitab. Jadi, besok nggak perlu lagi ngaji sama saya.”
Satu hal lain yang diingat Kholil, Kiai Hamid hanya berbicara dalam bahasa Arab kepada
santrinya sehingga mereka sangat termotivasi untuk mampu berbicara dengan bahasa Arab.

Dengan cara tersebut, bahasa Arab menjadi bahasa sehari-hari di antara para santri. Begitulah, iklim akademik di Tremas pada masa itu. Di antara para santri terjadi interaksi keilmuan yang hangat, saling belajar satu sama lain. Terdapat saling-silang keilmuan, saling mengaji dan mengajari.

Perpustakaan Terlengkap
Inovasi paling fenomenal yang dikenang dari masa kepengasuhan Kiai Hamid adalah
Maktamab At-Tarmasi (Perpustakaan Tremas) yang dianggap sebagai perpustakaan pesantren paling lengkap pada masanya. Pengakuan ini pernah diungkapkan oleh KH Ishom Hadzik (1965-2003), cucu KH Hasyim Asy’ari yang pernah mengunjungi Tremas pada penghubung tahun 1990-an.

Perpustakaan inilah yang menjadi penunjang kelas khusus bagi para santri senior yang dikenal sebagai Qism al-Nizham yang mengambil inspirasi dari Madrasah Nizamiyah-nya Imam Al-Ghazali. Kelas khusus ini kelak dikenal sebagai Ma’had Ali atau Pesantren Luhur.
Sekalipun usianya masih sangat muda, Kiai Hamid memiliki kemampuan ‘membaca’
kemampuan para santrinya. Prof. Abdul Mukti Ali, saat mengaji di Tremas, membuktikan hal tersebut. Ketika ia akan mengikuti pengajian kitab Al-Hikam yang memuat materi tasawuf kelas tinggi, Kiai Hamid melarangnya, dan mengarahkannya untuk mengaji kitab ilmu logika Mihaq al-Nazhar karya Al-Ghazali, yang mengasah logika dan menjadi dasar pemahaman filsafat. Kelak terbukti Mukti Ali menjadi ahli filsafat Islam dan guru besar di bidang perbandingan agama.

Dengan bantuan para santri senior, Kiai Hamid Dimyathi berhasil meningkatkan pamor
Pesantren Tremas pada masanya sebagai pesantren yang terbuka pada berbagai jenis keilmuan dan sistem pembelajaran. Sejumlah kitab baru, khususnya dari Timur Tengah menjadi bahan ajar dan bacaan para santri.

Di antaranya terdapat kitab Qira’ah al-Rasyidah yang menjadi materi pembelajran bahasa Arab tingkat dasar yang bergambar, sesuatu yang tidak lumrah dikaji di pesantren pada saat itu. Begitu pula media massa dari berbagai bahasa menjadi sajian rutin di Perpustakaan At-Tarmasi, seperti Penyebar Semangat yang berbahasa Jawa dan Al-Fata yang berbahasa Arab.

Pada masa dimulainya pendudukan Jepang (1942), Kiai Hamid sudah dipandang sebagai
tokoh terkemuka di Karesidenan Madiun. Ia mulai aktif dalam organisasi Islam Masyumi dan terpilih sebagai Aggota KNIP. Ia gugur pada Oktober 1948 dalam sebuah penyergapan oleh pasukan Madiun Affair. Ia gugur dalam kedudukannya sebagai Pengasuh Pesantren Tremas dan Ketua Masyumi Pacitan, saat menjalankan tugas sebagai Anggota KNIP yang mewakili Karesidenan Madiun.

(Iip D yahya, Penulis adalah santri Pesantren Krapyak dan Perguruan Islam Pondok Tremas)