Selalu ada yang pertama untuk setiap profesi dan pencapaian. Di dunia jurnalistik santri di Tremas, Haroenrasjid yang punya nama pena Firdos, merupakan yang perdana. Berikut adalah artikel singkat yang diolah dari surat kabar Tempo yang terbit di Surabaya pada 1936. Isi artikel koran ini lalu diringkas oleh Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers, nomor 10, tahun 1936.
Hareonrasjid lahir pada tahun 1895 di desa Wiyoro, Pacitan. Saat usianya mencapai 10 tahun, ia menempuh pendidikan Ongko Loro di Wlingi. Lima tahun kemudian ia meneruskan penjeljahan intelektualnya ke Perguruan Islam Pondok Tremas selama enam tahun (1911-1916) di bawah asuhan Kiai Dimyati bin Abdullah.
Pada tahun 1918, Haroen pergi ke ke Surabaya menemui Sajid Hassan bin Semit, seorang pengusaha yang menjadi salah satu pemimpin Central Sarekat Islam. Ia ditugaskan untuk mengelola majalah agama Utusan Islam dan Al Hilal.
Sempat tinggal sebentar di Madura, Firdos kemudian bersua dengan Haji Mohamad Misbach yang mengajaknya pindah ke Surakarta. Ia diajak untuk ikut aktif dalam organisasi SATV (Sidik, Amanah, Tablig, Vatonah). Bersama-sama R. Harsoloemakso dan Kiai Sontohartono. Firdos lalu dipercaya untuk menjadi redaktur majalah Medan Moeslimin. Firdos dikenal sebagai sosok ramah, sopan, dan tidak suka banyak bicara.
Selain menjadi aktivis organisasi Islam dan jurnalis, Haroen juga mengajar di beberapa sekolah di Solo. Ia seorang guru yang disenangi oleh murid-muridnya. Sementara itu tulisan-tulisanya di Medan Moeslimin juga digemari pembacanya. Pada tahun 1920, ia menikah dengan putri Haji Misbach yang bernama Siti Sapartinah.
Pada awal tahun 1930-an, ketika terbit surat kabar Adil vang didukung oleh Muhammadiyah di Solo, Firdos menjadi kontributor artikel keislaman. Adil dipimpin oleh tokoh pers Sjamsoeddin St Makmoer. Artikel-artikelnya keislaman langsung menarik minat pembaca umat Islam. Sejak Februari 1933, ia menjadi editor bagian keagamaan, dengan nama Firdos. Jika Sjamsoeddin berhalangan dan pergi keluar kota, ia ditempatkan sebagai penanggung jawab. Akan tetapi ia hanya menyebut dirinya sebagai ‘redaksi yang bertanggung jawab’ bukan sebagai pejabat pemimpin redaksi.
Firdos tidak memiliki pendidikan Barat, tetapi menurut memiliki pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab, yang memungkinkannya untuk mempelajari Islam dengan baik dan menghubungkannya dengan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat umum. Tulisan-tulisannya di harian Adil diikuti dengan penuh minat oleh otoritas organisasi Islam, juga oleh para pelajar Islam di Persia, Mesir dan Cina. Hal itu terlihat dari surat-surat yang diterimanya.
Jelajah Pemikiran
Apa saja yang menjadi kegelisahan jurnalis pesantren pemilik nama pena Firdos ini? Sejumlah artikel keislamannya di harian Adil yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional, dapat menjadi gambaran. Sebagai harian, Adil terbit 8 sampai 10 halaman, terbagi dalam dua atau tiga lembar. Artikel Firdos dimuat dalam lembaran kedua. Ia menulis dalam satu pemuatan dan beberapa lainnya secara bersambung.
Di antara tulisannya adalah: (1) Masalah Hakekat Pengajaran Islam terhadap Tuhan Kholiqul ‘alam (2/03/1933), 2) Didikan Persatuan dalam Islam (tanpa tahun), 3) Keterangan Chalidah Adib, Seorang Perempuan Turki kepada Utusan Majalah Asia-Amerika (13-03-1933), 4) Manusia (14-03-1933), 5. Kalau Terlihat, Bacalam Ini! (20-03-1933), 6. Arriddah (27-03-1933), 7) Al-Udhiyah (Qurban, 31-03-1933), 8) Hari Raya Idul Adha (4-04-1933), 9) Cerita Tiga Orang yang Tetep Imannya (7-04-1933), 10) PSII dan Tuan Dr Soekiman c.s. (10-04-1933), dan lain-lain.
Tentang Manusia
Salah satu artikel paling Panjang yang ditulis Firdos berjudul Manusia yang dimuat alam lembaran kedua Adil sebanyak delapan penerbitan, dari 14-28 Maret 1933. Pada seri pertama ia membuka tulisannya dengan kalimat,
“Manusia itu hamba Allah yang berakal, berpikir dan berbudi pekerti. Akal pikir dan budi pekerti itu seolah-olah dayung untuk menjalankan perahu ke tempat yang dikehendaki oleh yang memilikinya.”
Lalu pada bagia lain ia menulis, “Manusia yang dijadikan oleh Tuhan Kholiqul ‘alam, jauh bedanya dengan hewan. Manusia diberi akal pikiran untuk meng-akal-akal dan memikir-mikir keadaan yang bisa dilihat dengan panca indra dan dengan hati.”
Mengawali bagian ketiga ia menuturkan, “Pikiran kita selalu kita hidupkan dan kita suburkan. Faidahnya seperti tanaman-tanaman yang dibersihkan rumputnya, yang rumput itu bisa menguruskan tanaman yang kita maksudkan, karena rumput itu bisa mendesak makanan tanaman kita tadi.”
Dalam tulisannya, Firdos tampak merujuk kitab-kitab yang dikajinya di Tremas dan menunjukkan bacaannya yang luas. Ia memiliki keberanian untuk mengembangkan bakat jurnalistiknya, sebagai bekal dakwah di tengah masyarakat, melalui media yang dikelolanya.
Seorang santri, melihat pengalaman Haroenrasjid ini, bisa berdakwah dengan berbagi medium, asalkan ia memiliki keberanian untuk mengembangkan bakal personalnya. Salah satunya, bisa dengan menjadi jurnalis handal.
Selamat untuk Dua Abad PIP Tremas.
Iip Yahya, alumni Tremas 1990.