Hukum dan Keutamaan Menghidupkan Dua Malam Hari Raya

0
2562
Takbir Keliling Pondok Tremas 2018

PONDOKTREMAS.COM-Sudah menjadi sebuah tradisi umat muslim di Indonesia yaitu mengamalkan kesunahan-kesunahan dalam ibadah taqarub. Seperti halnya menghidupkan malam dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan mengumandangkan takbir, tasbih, tahmid dan tahlil umat muslim berharap mendapatkan keberkahan dan fadhilah pada malam dua hari raya ini.

Hari raya merupakan hari suka cita dan bergembira sehingga kadang tidak terasa terselip senda-gurau yang kurang berguna. Karena itu, menurut Sayyid Ali Al-Khawash (wafat 949 H) sufi asal Kairo, guru Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani, hikmah dari menghidupkan malam hari raya adalah nur ibadah, yang mana pelakunya dapat memancar sinar sepanjang hari dan terhindar dari kelalaian akibat begitu bahagianya di hari tersebut.

Lain halnya orang yang menghabiskan malam hari raya untuk tidur semalam suntuk atau melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat lalai dari Tuhannya, maka ia akan terjerumus dalam kelalaian di sepanjang hari. (Lihat Abdul Wahhab As-Sya’ani, Lawaqihul Anwar Al-Qudsiyyah, halaman 92).

Lalu muncul beberapa pertanyaan dari masyarakat luas tentang hukum dan keutamaan menghidupkan dua malam hari raya.

Berikut adalah penjelasan mengenai hukum dan fadhilahnya:

Imam Syafi’i ra. dalam kitabnya al-Wajiz mengatakan, bahwasanya ibadah yang berkaitan dengan dua hari raya seperti takbiran, sholat id dan berkurban adalah sunah Muakkad, bukan fardlu kifayah. (Lihat Al-Wajiz, [Baerut-Lebanon, 1997 M/ 1418 H], Hal. 200).

:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

(مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه

Rasulullah Saw. bersabda: Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati.”  (HR. As-Syafi’i dan Ibnu Majah).

Sementara dari sisi dirayah, maksud ‘hati tidak akan mati’ dalam hadits ini adalah hati tidak akan  mengalami kebingungan di saat banyak orang mengalaminya, yaitu pada saat sakaratul maut, saat ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan ketika hari kiamat. Dalam hal ini pakar fikih Maliki asal Mesir, Syekh Ahmad As-Shawi (wafat 1825 M/1241 H) menjelaskan:

.وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِعِ
Artinya: “Makna tidak mati hati orang yang menghidupkan malam hari raya” adalah tidak bingung hatinya ketika naza’ (sakaratul maut), ketika ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan di hari kiamat. Bahkan hatinya tenang penuh keteguhan pada momen-momen tersebut,” (Lihat Ahmad As-Shawi, Bulghatus Salik li Arqabil Masalik, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1415 H], juz I, halaman 345-346).

Kemudian berkaitan dengan keutamaan yang diperoleh bagi orang yang melakukannya para ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama (as-shahih) menyatakan dengan menggunakan mayoritas waktu malam hari raya untuk beribadah.

Pendapat kedua mengatakan cukup beribadah sesaat saja dari malam hari raya. Ini diperkuat dengan keterangan dari Imam As-Syafi’i yang mengisahkan bahwa ketika malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha para masyayikh kota Madinah datang ke masjid, berdoa, dan berzikir sampai lewat beberapa saat saja waktu malam tersebut.

Sedangkan pendapat ketiga sebagaimana dikutip oleh Al-Qadhi Husain dari Ibn Abbas RA mengatakan “keutamaan menghidupkan malam hari raya diperoleh dengan shalat isya’ secara berjamaah dan bertekan untuk melakukan shalat subuh di pagi harinya secara berjamaah pula.” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, tanpa catatan tahun], juz V, halaman 145).

Jadi, dengan berbagai ibadah, takbir, zikir, doa, shalat-shalat sunah dan ibadah lainnya  semoga kita diberi keteguhan hati di dalam momen-momen terpenting dalam fase kehidupan serta mendapatkan ridha-Nya. Amin. Wallahu a‘lam bis-showab. (Yusuf Ar Rifa’i)