Ning Athiya Zabrojad: Dari Tremas Terbang ke Turki, Demi Al Qur’an

0
5462
Ning Atiya atau Mbak Abo (kiri)

Ning Athiya Zabrojad merupakan putri pertama dari pasangang KH Lukman Haris Dimyathi dan Hj Ummu Aiman, pengasuh Pondok Tremas Pacitan. Sosok yang sering dipanggil dengan sapaan mbak Abo ini merupakan salah satu putri keluarga ndalem yang sedari kecil telah memulai karir pendidikannya di luar Pondok Tremas. Dan di usianya yang keduapuluh ini, ia telah berhasil menginjakkan kakinya di negeri para sufi, tepatnya di Turki.

Berdasarkan perbincangan tim Redaksi Soko Pena dengan ibundanya, awal mula kisah perjalanan pendidikan gadis kelahiran 1999 ini tidak lepas dari peran adiknya yakni Zamzam Muhammad Dimyathi atau yang lebih dikenal dengan sapaan Bang Zam.

Bang Zam yang saat itu duduk di kelas satu SD termasuk anak yang hiperaktif, sampai-sampai ibunya merasa tidak sanggup untuk mengatasi tingkah polahnya yang sangat aktif dan berfikir untuk mengirimnya ke pesantren.  Pada mulanya, Bu Yayuk, sapaan akrab Hj Ummu Aiman, merasa ragu untuk mengirim Bang Zam ke pesantren karena masih terlalu kecil. Namun atas pertimbangan sang suami, Kiai Lukman, akhirnya Bu Yayuk meminta mbak Abo untuk menemani adiknya itu.

Sebelum tawaran dari ibunya datang, ia sempat berangan-angan, “Kok aku disini terus ya? Mau sampai kapan? Aku nggak mau disini terus. Aku mau keluar (mencari ilmu) tapi nanti aku mau pulang membawa ilmu-ilmuku untuk Tremas.” Meskipun telah memiliki keinginan demikian, mbak Abo tidak langsung mengiyakan permintaan ibunya. Karena terbayang-bayang rasa takut untuk meninggalkan rumah. Namun, atas motivasi sang ibu yang mengatakan betapa istimewanya mondok, akhirnya berangkatlah kedua kakak beradik itu ke Pondok Pesantren Al Muqoddasah di Ponorogo.

Hari-hari pertama di pesantren dilaluinya dengan berbagai kegatan. Namun setiap kali mendengar adzan mbak Abo pasti menangis karena teringat dengan rumah. Bahkan setelah dua tahun, mbak Abo belum juga betah dan meminta pulang pada ibunya.

Hingga suatu hari, diungkapkanlah keinginannya untuk pulang pada Ibunya. “Ya udah nggak papa. Memang hanya waktu yang bisa memberi pemahaman terbaik tentang betapa nikmatnya mondok,” begitu jawaban Bu Yayuk saat menanggapi keinginan putrinya itu. Mendengar sang ibu berkata demikian, ia memikirkan kembali permintaannya untuk pulang. Dan berakhir dengan keputusannya untuk melanjutkan pendidikan SMPnya.

Saat kelas 3 SMP, Kiai lukman dan Bu Yayuk datang ke pesantren menjemput mbak Abo untuk mengikuti tes masuk UICCI di Yogyakarta. Padahal beberapa hari lagi mbak Abo akan diwisuda. Di tengah pertaruhan ini, mbak Abo berfikir, apabila ikut acara perpisahan, seakan-akan ia merelakan masa depan untuk masa lalu.

Dalam kebimbangannya, Mbak Abo menyemangati dirinya  “Seumpama niat kita belajar adalah untuk memperbaiki umat dengan ridho Allah, InsyaAllah semuanya akan indah.”  Kata-katanya terbukti. Pada mulanya mbak Abo dan ibunya khawatir oleh pihak pesantren tidak diberi izin dan tidak mendapat ijazah, tapi kenyataannya pihak pesantren sangat mendukung rencana mbak Abo dan mempermudah izinnya. Yang semula tidak mengikuti perpisahan, oleh Allah diberi perpisahan yang lebih  indah  bersama teman-temannya.

United Islamic Cultural Centre of Indonesia (UICCI) atau Yayasan Pusat Persatuan Kebudayaan Islam di Indonesia adalah sebuah organisasi sosial Islam yang didirikan pada tahun 2005 oleh para sukarelawan muslim Indonesia dan Turki yang berpusat di Istanbul Turki, untuk memberikan beasiswa kepada siswa SMP, SMA, Mahasiswa dan Santri Penghafal Al Qur’an berupa fasilitas lengkap, dan pendidikan agama serta bahasa secara gratis dengan dana yang dihimpun dari masyarakat Muslim, baik yang berada di Turki maupun Indonesia.

Cabang asrama UICCI sudah terdapat di beberapa wilayah Indonesia dan juga terdapat hampir di seluruh negara dunia. Saat ini UICCI memiliki cabang-cabang yang tersebar di Jakarta, Jogjakarta, Gresik, Pasuruan, Medan, Puncak, Bandung, Surabaya, Semarang, Aceh, Klaten, Sukabumi, Temanggung dan Pangkalan Bun (Kalteng).

Ada dua rangkaian tes yang dijalani oleh mbak Abo untuk masuk ke UICCI, diantaranya tes tulis dan wawancara di Yogyakarta. Dan tes kepribadian atau orientasi di Jakarta. Selama tes orientasi, mbak Abo dan teman-temannya yang lulus dari tes di Yogyakarta diminta tinggal di asrama selama 3 hari untuk dinilai kepribadian dan kesehariannya.

Menurut mbak Abo, kegiatan di UICCI sangat padat sekali. Akan tetapi, bagi orang yang niatnya benar-benar untuk mencari ilmu, kegiatan yang padat seperti ini justru  menyenangkan karena tidak membuang waktu dengan sia-sia. Alhamdulillah dengan penuh perjuangan, mbak Abo lulus dari kedua tes tersebut.

Selama empat tahun pada tahapan pertama di UICCI Indonesia, tepatnya setelah satu tahun di Jakarta. Mbak Abo sempat di mutasi sebanyak  dua kali. Yakni satu tahun di pasuruan dan dua tahun terakhir di gresik. Dalam kurun waktu empat tahun tersebut, mbak Abo hanya fokus pada hafalan Al-Qur’an.

Setelah tahapan di Indonesia selesai, pada bulan Syawal tahun lalu mbak Abo terbang menuju Turki, tepatnya di kota Kutahiya. Tidak ada hambatan yang berarti baginya karena sejak kecil telah terbiasa dengan dunia pesantren. Hanya saja ia sering dilanda rindu pada keluarga dan tanah air, terutama pada makanan-makanan Indonesia, mengingat selama di Turki makanan pokoknya adalah roti,

“Di sini (turki) makanan yang harus ada setiap pagi itu timun, tomat, buah zaitun dan keju. Itu makanan apa coba, mbak ?…. gimana saya nggak kangen sama masakannya ibu ?…Hehehee…” Canda mbak Abo.

Nah, selama di negara yang di terkenal dengan situs sejarah islam ini, mbak Abo mempelajari tentang tafsir Al-Qur’an. Disamping juga mempelajari ilmu-ilmu alat (nahwu sharaf) dan fiqh. Diantara kitab yang digunakan ialah kitab Amtsilah karangan Sayyidina Ali R.A. Untuk ilmu sharaf menggunakan kitab Majmu’ah. Sedangkan untuk nahwunya menggunakan kitab Syafii Ilmihali dan kitab Hanafi Ilmihali untuk ilmu fiqhnya. Seperti halnya di Pondok Tremas, setiap siswa  yang telah lulus dari UICCI Turki diharuskan khikmad minimal selama dua tahun.

Di Negara yang pernah di kuasai oleh Dinasti Ustmaniyah selama 600 tahun ini, orang-orang Indonesia terkenal dengan keramahan, sopan santun, dan rendah hati bila dibandingkan dengan negara lain. Mereka juga kagum dengan semangat dan keteguhan siswa-siswa Indonesia dalam hal belajar. Di sana pula terdapat istilah keluarga maknawi, yakni para penduduk pribumi yang seolah-olah menjadi keluarga angkat bagi para pelajar UICCI. Bahkan, saking menghargainya mereka terhadap para penghafal Al-Qur’an, masyarakat Turki sering kali mengundang mereka pada jamuan makan dalam acara-acara keagamaan di sana. Sehingga kondisi demikian membuat para siswa semakin nyaman belajar di Turki.

Buat temen-temen santri, ada titipan pesan nih, dari mbak Abo.

“Hidup itu seperti halnya perkalian. Misalnya 1x2x3x4….. dst. Pada angka satu tersebut harus di isi dengan niat. sebab semua amal itu tergantung pada niatnya. Angka 2,3,4….. dst, merupakan amal-amal kita. Apabila niat kita adalah karena Allah, maka semua amal itu dikalikan dengan satu. Namun apabila niat kita bukan karena Allah, maka seluruh amal kita itu bagaikan dikali dengan angka nol. Dan semua amal yang telah kita kerjakan menjadi sia-sia. Kita harus punya cita-cita yang tinggi. sebab hidup cuma sekali. Jadilah hidup itu seperti sebuah novel. Maka buatlah novel yang indah di dalam hidup kalian.”

Menuntut ilmu yang tidak biasa atau belum diketahui itu menarik sekali. Keinginan dan cita-cita belajar jika tekadnya kuat, pasti tercapai semua mimpi-mimpinya. Seperti halnya ning Athiya yang dengan kegigihannya mampu melanglang buana, from Tremas to Turki.

So, c’mon. kita update niat kita hanya untuk Allah semata. Kita perbaiki semua amal-amal kita agar seluruh usaha kita tidak menjadi sia-sia. Muspro.

Man jadda wa jada.

Dare to dream Dare to achive.

(Zainul Milla/Ana Lailatus Syifa’/Sri Maharani/Fina Khofiyati)