Mendadak Pulang Kampung

0
2303
Armada penjemputan santri

Pondok mulai sepi. Anak-anak santri hampir seluruhnya dipulangkan. Hanya tersisa beberapa saja yang masih di pondok, mereka yang masih di pondok ialah santri-santri yang sedang tirakatan ‘nahun’ (tidak pulang selama tiga tahun), dan beberapa santri yang didawuhi khidmah sementara di pondok.

Kebijakan dari para masyayikh dan para pengurus terkesan tergesa-gesa, mendadak dan tiba-tiba. Imtihan cawu III yang semula diadakan, baru dapat satu hari, harus diberhentikan. Tak ada ujian cawu III. Meski terkesan tergesa-gesa, saya yakin, haqqul yakin, ini keputusan yang tepat. Pertimbangan yang singkat itu adalah pertimbangan yang sangat matang dan sangat tepat. Bagaimana tidak tepat? Meski di Pacitan, khususnya di Tremas, masih zona hijau, tetapi dampak adanya covid-19, itu sangat terasa kepada khalayak. Pasar-pasar mulai ditutup. Toko-toko sembako mungkin saja ditutup. Seandainya peristiwa ini berlangsung lama, tiga ribu santri yang ada di pondok mau makan apa nanti? Pesantren adalah komunitas besar yang dalam penjagaan dan pengawasannya butuh tenaga yang sangat luar biasa. Juga semuanya karena ‘njagani’ terhadap hal hal yang tidak diinginkan. Alhasil, mereka dipulangkan, dikembalikan kepada komunitas kecil yang bernama keluarga. Sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semoga semua segera membaik.

Pondok mulai sepi. Dan sungguh, saya bersedih, sekaligus cemas, tidak percaya. Ada hal-hal yang sebenarnya tidak bisa diterima oleh para santri. Sangat berat. Terutama, kakak-kakak El-Yamin. Mereka terpaksa menunda atau bahkan meniadakan peristiwa yang seharusnya menjadi puncak dan ending cerita mereka di pondok. Wisuda ditunda, dakwah bil hal ditunda, ujian maju Mbah Yai kemungkinan ditiadakan. Sungguh, peristiwa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. “Saestu, sing sabar nggih Mas Santri…”

Kesedihan saya berlipat. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari saya bersama mereka, anak-anak santri yang bandel-bandel dan pinter-pinter itu. Tapi selama dua bulan ke depan, mungkin lebih, saya ndak bisa bertemu dan bercengkrama seperti hari-hari sebelumnya. Saya mendadak melankoli, ini penyakit saya sejak dulu, merasa memiliki, sehingga ketika melepaskan, saya seperti seorang yang kehilangan sahabat. “Ndepis” di pojok kamar, sambil “mbrebes” menikmati kesendirian. Semoga disehatkan jasmani-rohanimu ya Mas Santri.. jaga diri baik-baik di rumah. Pokokmen kudu yakin, wabah ini segera berakhir. Dan nanti di awal tahun ajaran baru kita dapat bertemu kembali, menyusun hal-hal baik, menghidupkan hari-hari.

Dungo-dinungo nggih mas santri

Syeftyan Afat Kartoredjo, Ustadz Pondok Tremas.