Keharaman Mentafsirkan Al-Qur’an dengan Opini

0
2385

Al-Quran adalah Kitab Suci terakhir dan paripurna dari sekian Kitab Suci yang pernah diturunkan di muka bumi ini. Sebagai ajaran yang paripurna, Al-Qur’an mengajarkan tentang sisi kehidupan dan problematika manusia tertoreh sejak zaman Nabi Adam as. hingga saat ini. Segala permasalahan yang ada kekinian membutuhkan solusi sebagai jawaban atas pertanyaan di antara manusia.

Islam sendiri memiliki para ulama yang memang adalah pewarits ajaran para Nabi dan Rasul. Namun tidak semua orang yang berilmu itu mampu dan berani mengupas dan mentafsiri teks-teks ayat Al-Qur’an. Karena dalam pemahaman Al-Qur’an dibutuhkan disiplin khusus ilmu untuk mentafsirkan agar makna yang diharapkan sesuai dengan ayat tersebut.

Syaikh Manna’ Al-Qatthan dalam bukunya  Mabakhits fii ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. Haramain, hal. 352 mengatakan:

Mentafsirkan Al-Qur’an hanya dengan akal dan menurut diri-sendiri tanpa memakai dasar adalah haram dan tafsirannya tidak boleh diikuti,…”

Para ulama salaf berpedoman pada Ayat Al-Qur’an surah Al-Israa Ayat 36:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Arab-Latin: Wa lā taqfu mā laisa laka bihī ‘ilm, innas-sam’a wal-baṣara wal-fu`āda kullu ulā`ika kāna ‘an-hu mas`ụlā

Terjemah Arti:“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Menafsirkan Al Qur’an semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”.

Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”.

Oleh karena itu kita lihat generasi terbaik umat Islam yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabiut tabi’in, mereka tidak berani menafsirkan Al Qur’an jika mereka tidak tahu tafsirnya.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu pernah ditanyan mengenai makna abban atau al abb dalam surat Abasa ayat 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, namun Abu Bakar mengatakan:

أي سماء تظلني؟ و أي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم

“Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)”.

Suatu kala Sa’id bin Musayyib ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, beliau mengatakan:

إنا لا نقول في القران شيئا

“kami tidak (berani) beropini sedikit pun mengenai tafsir Al Qur’an”.

Beliau katakan demikian karena tidak tahu mengenai tafsir ayat tersebut.

Ath Thabari mengatakan: “Kabar-kabar dari para salaf ini bukti benarnya penyataan kami bahwa penafsiran ayat Al Qur’an tidak bisa diketahui ilmunya kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau dengan adanya dalil yang mendukungnya. Tidak boleh seorang pun berkata tentang tafsirnya hanya dengan opininya. Jika kebetulan perkataannya benar, maka ia tetap salah atas perbuatannya yang berani bicara mengenai tafsir dengan semata opini. Karena perkataannya yang benar tersebut bukanlah kebenaran yang benar-benar ia yakini kebenarannya, melainkan hanya kira-kira dan sangkaan saja. Dan orang yang berbicara masalah agama dengan modal sangkaan, sama saja ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dan Allah telah melarang hal itu terhadap hamba-Nya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa menafsirkan Al Qur’an dengan semata-mata akal dan opini adalah terlarang dan bukanlah teladan dari para salafus shalih. (Red./Yusuf)