Jalani Tradisi Nahun, Ratusan Santri Pilih Tak Mudik

0
2215

Tremas– Disaat kaum muslimin tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga dan sanak saudara di rumah, banyak santri Pondok Tremas Pacitan yang menghabiskan hari lebaran dengan memilih menetap di pondok. mereka bukannya tidak memiliki bekal untuk mudik ke kampung halaman, melainkan mereka tengah menjalani tradisi nahun.

“Tahun ini, santri yang tinggal dan berlebaran di pondok berjumlah sekitar 275 santri, mereka merupakan santri yang sedang menjalani tradisi Nahun,” demikian dikatakan Sekretaris Ma’hadiyah Ustadz Slamet Syukur, Rabu (6/7) malam.

Dia mengatakan, para santri yang menjalani tradisi nahun kebanyakan berasal dari luar pulau jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Namun tidak sedikit pula para santri yang berasal dari sekitar pulau jawa. Mereka yang melakukan tradisi nahun semata-mata berniat untuk bersungguh-sungguh belajar dan berharap mendapat ilmu yang bermanfaat.

Para santri yang nahun ini sejatinya sedang menjalani dan merawat tradisi warisan para sesepuh terdahulu. Riwayat tradisi nahun yang disebut juga tirakat atau lelakon, pertama kali dilakukan oleh para santri simbah guru KH Dimyathi Abdulloh. Tradisi ini sudah ada sejak dekade 1900-an dimana pada saat itu perkembangan pondok Tremas sangat pesat sehingga banyak santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan ada yang datang dari negara tetangga.

Mengingat letak pondok yang jauh dari kampung halaman mereka waktu itu, sementara alat transportasi juga belum ada sama sekali kecuali gerobak dan sejenisnya, maka dilakukanlah Nahun dalam arti hakiki yaitu tekun belajar dan tidak keluar dari kompleks pondok dalam jangka waktu 3 tahun ataupun 3 bulan dan 3 hari. Mengenai jangka waktu pelaksanaan Nahun sebenarnya tidak ada patokanya dan hanyalah istilah, bahkan pondok pun tidak mengatur tentang hal ini.

Ada sebuah kisah yang melatarbelakangi tradisi ini. Suatu hari simbah guru putri, Nyai Khotijah, istri KH Dimyathi Abdulloh yang sedang melakukan tirakat puasa selama 3 tahun, 3 bulan dan 3 hari, mengalami hal yang sangat aneh. Saat ia mencuci beras di sumur untuk dimasak, tiba –tiba beras tersebut berubah menjadi emas. Simbah guru putri pun kaget seraya berdoa. “Yaa..Allah, saya bertirakat bukanlah untuk mengharapkan emas atau harta benda dunia, akan tetapi saya memohon kepada-Mu, ya Allah, jadikanlah Tremas ini bagian dari masyarakat, jadikanlah keluarga termasuk Ahlul’ilmi dan jadikanlah santri-santri yang menuntut ilmu di sini menjadi santri yang barokah,” seraya membuang emas tersebut ke dalam sumur.

Setelah kejadian itu banyak santri yang melakukan tradisi nahun sebagai bentuk tirakat agar kegiatan belajarnya di Pondok Tremas senantiasa lancar dan berhasil mencapai tujuannya hingga terjun di masyarakat kelak.

Sesuai perkembangan zaman, tradisi ini tetap ditiru oleh generasi selanjutnya meskipun dengan versi yang berbeda-beda. Sekarang ini versi nahun yang berlaku di kalangan santri Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan  ada 3 yaitu, pertama tidak keluar dari kompleks Pondok Tremas, kedua tidak keluar dari wilayah Kabupaten Pacitan, dan ketiga tidak pulang ke rumahnya.

Yang berlaku umum di kalangan santri Pondok Tremas sekarang ini adalah nahun sesuai kategori kedua dan ketiga dengan waktu minimal 3 tahun.