Apakah Batal Menelan Ingus Saat Puasa?

0
2303

Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan oleh syariat bagi seluruh umat Islam. Kewajiban ini secara tegas disampaikan dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain” (QS Al-Baqarah: 183-184).

Banyak hal yang terjadi pada saat seseorang menjalankan puasa, salah satunya adalah keluarnya ingus pada saat puasa. Sebenarnya bagaimana hukum menelan ingus pada saat puasa?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, dalam mazhab Syafi’i dijelaskan bahwa tertelannya ingus ke bagian dalam (jauf) ketika ingus sudah sampai di bagian luar hukumnya tergantung kondisi yang mengiringinya. Jika saat ingus berada di bagian luar (di atas tenggorokan) dan mampu untuk dikeluarkan (Jawa: dilepeh), tapi tidak ia keluarkan hingga akhirnya tertelan kembali maka puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia dianggap ceroboh karena tidak mengeluarkan ingusnya. Namun, jika saat ingus berada di bagian luar tidak mampu ia keluarkan, misalnya karena terlalu cepat turun kembali ke bagian dalam (jauf) atau tertelan tanpa disengaja maka puasanya tetap dihukumi sah dan hal tersebut tidak membatalkan.

Perincian di atas sesuai dengan penjelasan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:

ولو نزلت نخامة من رأسه وصارت فوق الحلقوم نظر إن لم يقدر على إخراجها ثم نزلت إلى الجوف لم يفطر وإن قدر على إخراجها وتركها حتى نزلت بنفسها أفطر أيضا لتقصيره

“Ketika ingus turun dari kepala dan berada di bagian atas tenggorokan maka hukumnya diperinci, jika seseorang yang puasa tidak mampu mengeluarkannya (Jawa: melepeh) lalu ingus itu turun kembali menuju bagian dalam (jauf) maka puasanya tidak batal, namun jika mampu untuk mengeluarkannya dan ia meninggalkan hal tersebut sampai ingus itu dengan sendirinya turun (Menuju bagian dalam) maka puasanya dihukumi batal, karena ia dianggap ceroboh (karena tidak mengeluarkan ingus)” (Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 205).

Sedangkan hukum mengeluarkan ingus dari bagian dalam (di bawah tenggorokan) menuju bagian luar (di atas tenggorokan) dengan sengaja, lalu segera ia buang keluar, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut pendapat yang kuat, hal tersebut dianggap tidak membatalkan puasa sebab kejadian demikian sering sekali dialami oleh orang yang puasa. Namun menurut pendapat yang lain, hal tersebut dianggap membatalkan puasa, karena sama persis dengan mengeluarkan muntahan dengan sengaja yang sangat jelas dapat membatalkan puasanya.

Berbeda halnya ketika ingus tersebut tidak dikeluarkan, tapi justru ditelan dengan sengaja padahal mampu untuk dikeluarkan, maka hal ini secara jelas dapat membatalkan puasa. Penjelasan di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

وعند الشافعية هذا التفصيل :
– إن اقتلع النخامة من الباطن، ولفظها فلا بأس بذلك في الأصح ؛ لأن الحاجة إليه مما يتكرر، وفي قول : يفطر بها كالاستقاءة
– ولو صعدت بنفسها، أو بسعاله، ولفظها لم يفطر جزما .
ولو ابتلعها بعد وصولها إلى ظاهر الفم، أفطر جزما
وإذا حصلت في ظاهر الفم، يجب قطع مجراها إلى الحلق، ومجها، فإن تركها مع القدرة على ذلك، فوصلت إلى الجوف، أفطر في الأصح، لتقصيره، وفي قول : لا يفطر، لأنه لم يفعل شيئا، وإنما أمسك عن الفعل

“Menurut mazhab Syafi’i dalam hal ini (menelan ingus) hukumnya diperinci. Jika ingus dikeluarkan (oleh dirinya) dari bagian dalam dan ia membuangnya maka hal ini tidak masalah (tidak membatalkan puasa) menurut qaul ashah (pendapat terkuat). Sebab hal ini terjadi berulang-ulang. Menurut sebagian pendapat, hal tersebut dapat membatalkan seperti halnya hukum memuntahkan (makanan).

Jika ingus itu keluar dengan sendirinya, atau terbawa saat batuk, lalu ia mengeluarkannya maka tidak batal puasanya. Jika ia menelan ingusnya setelah sampainya ingus pada bagian luar mulut maka puasanya batal.

Ketika ingus berada di bagian luar mulut maka wajib untuk memutus aliran ingus menuju tenggorokan dan mengeluarkan ingusnya, jika ia meninggalkan hal ini padahal ia mampu, lalu ingus itu sampai pada bagian dalam (jauf) maka puasanya dihukumi batalmenurut qaul ashah. Menurut sebagian pendapat , puasanya tidak batal, sebab ia tidak melakukan apa pun, ia hanya membiarkan tidak melakukan apa pun” (Kementrian wakaf dan urusan keagamaan kuwait, al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 28, hal. 65).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menelan ingus pada saat puasa dengan sengaja, ketika ingus sudah berada di bagian luar (bagian atas tenggorokan) maka dapat membatalkan puasa. Berbeda halnya ketika ingus tersebut keluar lalu tertelan kembali dan tidak mungkin untuk dikeluarkan, maka puasanya tetap dihukumi sah. Wallahu a’lam.