17 Muharram, Mengenang Wafatnya Mbah Kiai Dimyathi

0
4479

Allah SWT memilih hari itu, Jum’at Kliwon, 17 Muharram 1356 H untuk memanggil hambanya, KH Dimyathi pulang ke Rahmatullah. KH Dimyathi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Menggoreskan kenangan, menorehkan bhakti, dan menaburkan jasa untuk terus diperjuangkan.

Awan kedukaan begitu kelabu menyelimuti Jum’at itu. Perlahan air mata pun menetes di bumi Tremas. Para ulama, tamu-tamu, dan santri berdatangan dari berbagai penjuru, berta’ziah dan memberikan penghormatan terakhir kepada KH Dimyathi.

KH Dimyathi adalah salah seorang ulama besar yang kehidupanya diwarnai berbagai sifat luhur sehingga banyak ulama yang menyatakan kekagumanya.

KH Muhammad Dimyathi lahir pada Jum’at Legi, 26 Shafar 1296 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1879 M di Desa Tremas. KH Dimyathi adalah putra ke-4 dari pasangan KH Abdullah dan Nyai Aminah.

Setelah belajar langsung dengan ayahnya, KH Dimyathi muda, bersama adiknya Kiai Abdurrazaq diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sambil melanjutkan studinya di Makkah, menyusul  kakaknya Syaikh Mahfudz, yang sudah dulu bermukim dan menjadi guru besar disana.

Hidup mengembara adalah hal yang sangat diimpikan oleh KH Dimyathi. Dengan mengembara, seseorang akan digembleng oleh pahit getirnya kehidupan. KH Dimyathi tak kenal lelah dalam menimba ilmu. Usia remaja KH Dimyathi dihabiskan untuk belajar kepada para guru terbaik di masanya, khususnya di tanah arab hingga Asia Tengah.

Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun. Tidak terasa hampir 16 tahun KH Dimyathi bermukim di tanah arab.  Kesungguhanya dalam menuntut ilmu telah membuat tinggi pengetahuan agamanya.

Setelah ayahnya, Kiai Abdullah, wafat di Makkah pada tahun 1894, dua tahun kemudian KH Dimyathi kembali ke tanah air. KH Dimyathi kembali ke Tremas untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Tremas, yang sejak keberangkatan Kiai Abdullah, Pondok Tremas diserahkan kepada menantunnya, Kiai Zaed bin Taslim Basyaiban dari Tirip, Purworejo.

Sekembalinya dari tanah suci, KH Dimyathi lalu menikah dengan Nyai Khatijah binti KH Abdur Rahman pada hari Kamis 7 Rajab 1323 H, atau 6 September 1905 M. Saat itu KH Dimyathi berusia  27 tahun sedangkan isterinya, Nyai Khadijah berusia 14 Tahun. Dari pernikahan ini, KH Dimyathi dikarunia 8 putra-putri. Berturut-turut: Nyai Hafshoh, Kiai Hamid, Nyai Hamnah, Nyai Halimah, Kiai Habib, Nyai Habibah, Kiai Hasir, dan Kiai Harits.

KH Dimyathi memiliki kepribadian yang luar biasa, bersahaja dan luhur ahlaknya. Pribadinya telah mencerminkan sosok yang alim, figur seorang kiai. Sehingga wajarlah bila saat itu, banyak santri dari Nusantara yang berguru kepadanya.

Ketinggian ilmu yang dimiliki tidak merubah perangainya yang tawadhu’ dan sederhana dalam kehidupan keseharianya. Semua ini merupakan hasil dari proses panjang yang tiada kenal lelah dalam menuntut ilmu.

KH Dimyathi dikenal dengan panggilan “Mbah Guru” sehingga akhirnya Pondok Tremas lenih masyhur dengan sebutan Perguruan Islam Pondok Tremas yang mengandung pengertian sebagai tempat berguru dan tidak menggunakan istilah yang sering dipakai yakni Pondok Pesantren.

Dibawah kepemimpinan KH Dimyathi, Pondok Tremas Pacitan  pernah mengalami masa keemasan dengan jumlah santri mencapai 2 ribuan. Karomah dan kealimannya dalam berbagai ilmu diakui oleh para ulama nusantara. Sentuhan KH Dimyathi melalui pendidikan pesantren melahirkan alumni yang mumpuni di bidangnya. antara lain: KH Ali Maksum Krapyak, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Muntaha Alhafidz Kaliibeber Wonosobo, Prof Mukti Ali (Menteri Agama RI era presiden Soeharto),  dan para kiai serta tokoh lainya.

Seperti kakaknya, Syeikh Mahfudz, KH Dimyathi juga memiliki karangan kitab. Akan tetapi karya KH Dimyathi itu hingga saat ini belum ditemukan. Hal ini lantaran pada tahun 1966 terjadi banjir bandang yang melanda Tremas. Ketinggian air konon hingga sampai atap rumah. Sehingga banyak harta benda, dan tentunya kitab-kitab milik KH Dimyathi yang ikut hanyut dan tidak terselamatkan.

Menurut berbagai sumber dari alumni sepuh. KH Dimyathi merupakan kiai yang alim dan ahli  dalam ilmu Faroid.

KH Dimyathi memimpin Pondok Tremas kurang lebih 41 tahun. KH Dimyathi berhasil meneruskan tonggak sejarah yang telah diwariskan oleh kakeknya, KH Abdul Manan Dipomenggolo.

KH Dimyathi berhasil menciptakan dinasti yang kini meneruskan estafetnya. Dan yang tak ternilai, KH Dimyathi mampu menorehkan nama besar, Pondok Tremas, dalam dunia pendidikan. Tiap hari ribuan santri menimba ilmu dan sejuta hikmah di dalamnya.

Riwayat singkat KH Dimyathi ini jelas tidak bisa banyak mengungkapkan perjalanan hidupnya. Mengenang Simbah Guru KH Dimyathi bin KH Abdullah bin KH Abdul Manan bin Dipamenggolo dalam haul yang ke-82 ini, mudah-mudahan dapat menambah kecintaan kita, dan  semoga kita selalu kecipratan barokahnya. Amin.

Tersanjung doa kepada Simbah Guru KH Dimyathi, selalu, selamanya, Al Fatihah.

*Disarikan dari tulisan Sdr Ahmad Saufan. 19 September 2017 dan buku Bunga Rampai dari Tremas, buah karya Gus Ahmad Muhammad.